Jumat, 23 April 2010

MEKANISME PEMBIAYAAN MURABAHAH

PENDAHULUAN
Para pakar perbankan Islam pada awal terbentuknya perbankan Islam
di kancah perbankan global menyepakati bahwa perbankan Islam dalam
kegiatan operasional yang dijalankannya harus didasarkan pada sistem Profit
and Loss Sharing (PLS) dan bukan berdasarkan sistem bunga (interest rate).
Namun dalam prakteknya, sebagian besar bank-bank Islam mengalami
kesulitan untuk menerapkan sistem ini dalam produk-produk pembiayaan yang
ditawarkan yang menggunakan sistem PLS murni, dengan kendala yang
penuh resiko dan ketidak-pastian. Masalah-masalah praktis yang terkait
dengan pembiayaan ini di satu sisi mengakibatkan adanya penurunan dalam
penggunaannya di dunia perbankan Islam, dan pada akhirnya pada sisi lain
menyebabkan adanya peningkatan yang cukup drastis pada penggunaan
mekanisme pembiayaan yang secara tidak langsung mirip dengan pembiayaan
sistem bunga, yaitu mekanisme pembiayaan murabahah.
Dalam lembaga keuangan atau perbankan Islam produk pembiayaan
yang menggunakana mekanisme murabahah mendominasi sekitar 80 sampai
dengan 95 persen dari transaksi keuangan yang ada. Namun, kondisi ini tidak
terjadi di beberapa negara Islam seperti Sudan dan Iran, di mana mekanisme
pembiayaan bagi hasil-rugi tetap atau sebagian besar digunakan. Hal ini antara
lain dipengaruhi oleh adanya faktor-faktor yang mendukungnya, seperti
pemahaman masyarakat muslimnya yang tinggi akan pentingnya aplikasi
ajaran-ajaran agama dalam kehidupannya, termasuk dalam kegiatan
perekonomiannya seharai-hari, di samping adanya peran tokoh agama yang
sangat besar dalam kehidupan mereka.
Oleh karenanya, dalam makalah ini penulis akan mencoba mengkaji
mekanisme pembiayaan murabahah sebagai salah satu mekanisme
pembiayaan terpenting dan terpopuler pada perbankan Islam, dengan
1 Penulis adalah Staf Pengajar pada Fakultas Syariah IAIN Mataram.
memaparkan bagaimana konsep murabahah itu sendiri menurut kajian fiqih,
penerapannya dalam perbankan Islam, perbandingannya dengan mekanisme
pembiayaan yang berbasis bunga tetap pada perbankan konvensional dan
suatu analisa terhadap praktik murabahah jika dikaitkan dengan permasalahan
bunga dan riba.
Murabahah dalam Kajian Fiqih
Salah satu skim pembiayaan dalam konteks fiqih yang paling banyak
digunakan oleh perbankan Islam adalah skim pembiayaan jual-beli murabahah.
Transaksi murabahah ini dalam sejarah Islam lazim tejadi dan dilakukan pada
masa Rasulullah dan para sahabatnya. Sejak awal munculnya dalam kajian
fiqih, kontrak ini tampaknya telah digunakan murni untuk tujuan dagang.
Secara sederhana konsep murabahah adalah diartikan sebagai suatu
bentuk jual beli dengan adanya komisi atau suatu bentuk penjualan barang
dengan harga awal ditambah keuntungan yang disepakati. Transaksi ini
menurut Udovict biasanya dilakukan jika si pembeli tidak memperoleh barang
yang diinginkan kecuali melalui seorang perantara, atau ketika si pembeli ingin
mendapatkan barang tersebut secara praktis sehingga ia mencari jasa dari
seorang perantara.
Di dalam al-Qur’an, pembahasan secara langsung mengenai
murabahah tidaklah ada, walaupun terdapat beberapa ayat yang menunjukkan
kajian yang terkait dengannya seperti pembahasan mengenai jual-beli ataupun
permasalahan keuntungan dan kerugian dalam suatu perdagangan. Demikian
pula halnya dengan hadis-hadis Rasulullah Saw, tidak ada satupun hadist yang
membahas atau memiliki rujukan langsung mengenai permasalahan
murabahah ini.
Adapun yang menjadi landasan dari pembiayaan ini adalah al-Qur’an
ayat 29 dari surat an-Nisa yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta
sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku suka sama suka di antara kamu.”
Para ulama generasi awal seperti Imam Malik dan Syafi’i yang secara
khusus mengatakan bahwa jual beli murabahah adalah boleh hukumnya, tidak
dapat memperkuat pendapat mereka dengan satu hadis-pun. Imam Malik
misalnya, membenarkan keabsahan pendapatnya hanya dengan merujuk pada
adanya praktik penduduk mengenai transaksi ini :
“Terdapat kesepakatan dari ahli Madinah mengenai keabsahan
seseorang yang membelikan pakaian di kota, dan kemudian ia
membawanya ke kota lain untuk menjualnya lagi dengan suatu
keuntungan yang disepakati”
Sedangkan Imam Syafi’i dalam kitabnya al-‘Umm mengatakan bahwa :
“Jika seseorang menunjukkan suatu barang kepada seseorang dan
berkata belikanlah aku barang seperti ini dan aku akan
memberikanmu keuntungan sekian, lalu orang tersebut
membelikannya, maka jual beli ini adalah sah hukumnya.”
Dan seorang ulama pengikut mazhab Hanafi menganggap bahwa
murabahah ini adalah sah hukumnya dengan pertimbangan terpenuhinya
syarat-syarat yang mendukung adanya suatu akad jual beli dan juga karena
adanya beberapa pihak yang membutuhkan keberadaan transaksi ini. Begitu
juga dengan Imam Nawawi seorang ulama pengikut mazhab Syafi’i
menyatakan kebolehannya tanpa ada penolakan sedikitpun.
Lebih lanjut Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa di dalam transaksi
murabahah ini persyaratan yang harus dipenuhi antara lain adalah :
· Diketahuinya harga pokok
Dalam jual beli murabahah ini, penjual diharuskan untuk memberitahukan
secara jelas harga pokok atau harga awal dari suatu barang yang akan di
jual kepada pembeli untuk menghindari terjadi transaksi yang tidak jelas
(gharar) di antara kedua belah pihak.
· Diketahuinya keuntungan yang ditetapkan
Pihak penjual ketika melakukan transaksi dengan pembeli diwajibkan untuk
menjelaskan berapa dan bagaimana keuntungan (marjin keuntungan) yang
akan ditetapkan dari barang yang di jual, dan hal itu merupakan unsur
terpenting yang mendukung terjadinya transaksi yang saling rela (‘an
taradhin) di antara kedua belah pihak.
· Harga pokok merupakan sesuatu yang dapat diukur, dihitung dan
ditimbang dengan nilai, baik ketika terjadi transaksi jual beli yang pertama
ataupun sesudahnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan dalam
kajian fiqih Islam transaksi murabahah ini adalah sah dan boleh hukumnya,
dengan alasan adanya kebutuhan masyarakat akan jenis transaksi ini.
Pertimbangan lainnya adalah keberadaannya merupakan bentuk lain dari
transaksi jual-beli atau perdagangan sederhana yang ada dalam Islam
berdasarkan terpenuhinya persyaratan jual-beli yang ada di dalam transaksi
murabahah ini.
Sementara itu, secara umum para ulama berbeda pendapat tentang
biaya yang dapat dibebankan pada harga jual barang terkait dengan
pengertian keuntungan yang disepakati mark-up dalam transaksi murabahah.
1. Mazhab Maliki membolehkan adanya biaya-biaya yang langsung dan tidak
langsung yang terkait dengan transaksi jual beli dengan ketentuan dapat
memberikan nilai tambah pada barang tersebut.
2. Mazhab Syafi’i membolehkan untuk membebankan biaya-biaya yang secara
umum timbul dalam suatu transaksi jual-beli, kecuali biaya tenaga kerjanya
sendiri karena komponen ini sudah termasuk dalam keuntungannya. Begitu
pula dengan biaya-biaya yang tidak menambah nilai barang tidak boleh
dimasukkan sebagai komponen biaya.
3. Mazhab Hambali mengatakan bahwa semua biaya yang langsung maupun
tidak langsung dapat dibebankan pada harga jual selama biaya-biaya itu
harus dibayarkan kepada pihak ketiga dan dapat menambah nilai barang
yang dijual tersebut.
4. Mazhab Hanafi membolehkan untuk membebankan biaya-biaya yang secara
umum dapat timbul dalam suatu transaksi jual-beli, dan tidak boleh
mengambil keuntungan berdasarkan biaya-biaya yang semestinya
ditanggung oleh si penjual.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa keempat mazhab
membolehkan adanya pembebanan biaya langsung yang harus dibayarkan
kepada pihak ketiga. Keempat mazhab menyepakati untuk tidak membolehkan
pembebanan biaya langsung yang berkaitan dengan pekerjaan yang
semestinya dilakukan oleh penjual maupun biaya-biaya langsung yang
berkaitan dengan hal-hal yang berguna. Di samping itu mereka juga
membenarkan pembebanan biaya tidak langsung yang dibayarkan kepada
pihak ketiga dan pekerjaan itu memang harus dikerjakan oleh pihak ketiga
tersebut. Namun, jika pekerjaan itu harus dilakukan oleh penjual, mazhab
Maliki tidak membenarkan pembebanan biaya atasnya (adapun ketiga mazhab
lainya membolehkan). Dan keempat mazhab juga sepakat untuk tidak
membolehkan pembebanan biaya tidak langsung jika tidak menambah nilai
barang atau tidak berhubungan dengan hal-hal yang dapat berguna bagi nilai
barang tersebut.
Murabahah dalam Perbankan Syariah
Pada umumnya bank-bank Islam menawarkan produk murabahahnya
untuk memberikan pembiayaan jangka pendek kepada para nasabah guna
pembelian barang-barang konsumsi. Murabahah yang digunakan dalam
perbankan Islam pada prinsipnya didasarkan pada dua (2) komponen utama
yaitu harga beli dan biaya terkait atas barang serta kesepakatan atas labanya
(mark-up).
Dengan demikian, ciri-ciri mendasar yang dapat disimpulkan pada
kontrak murabahah (jual beli dengan pembayaran tunda) ini adalah sebagai
berikut :
1. Pihak pembeli harus memiliki pengetahuan tentang harga awal dari
barang yang dijual pihak bank, biaya-biaya terkait dengannya dan
batas laba (mark-up) yang ditetapkan dalam bentuk prosentase dari
total harga plus biaya-biayanya.
2. Obyek yang diperjual-belikan adalah berupa barang atau komoditas
dan harus dibayar dengan uang.
3. Obyek yang diperjual-belikan harus ada dan dimiliki oleh pihak penjual
atau wakilnya dan dapat diserahkan secara langsung.
4. Pembayaran yang dilakukan oleh pihak pembeli dapat ditangguhkan
(angsuran)
Dalam prakteknya di perbankan Islam, sebagian besar kontrak
murabahah yang dilakukan adalah dengan menggunakan sistem murabahah
kepada pemesan pembelian (KPP). Kondisi ini dapat dimaklumi mengingat
lembaga perbankan bukanlah sebagai tempat yang menghasilkan suatu barang
atau komoditas tertentu yang dibutuhkan oleh seorang nasabah. Singkatnya
untuk mengadakan barang atau komoditas yang dibutuhkan nasabah, pihak
bank terlebih dahulu melakukan pemesanan kepada produsen terkait (pihak
ketiga) yang kemudian disalurkan kepada nasabah yang memesannya. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada skema pembiayaan murabahah berikut ini :
Perbandingan Antara Pembiayaan Murabahah (mark-up) dan
Berbasis Bunga Tetap (Fixed Interest Based)
Mekanisme pembiayaan yang menggunakan skim murabahah pada
perbankan Islam jika ditilik sekilas memang terlihat mirip dengan pembiayaan
yang menggunakan sistem bunga tetap yang ditawarkan perbankan
konvensional. Dalam makalah ini, penulis akan mencoba melakukan
perbandingan untuk menemukan apakah terdapat perbedaan yang signifikan di
antara keduanya untuk tujuan-tujuan yang sama dengan menfokuskan
perbandingan pada aspek-aspek sebagai berikut :
1. Biaya (Harga) Untuk Pembiayaan
Sebagaiman diketahui bahwa ketika sebuah bank konvensional
memberikan pinjaman kepada seorang debitur, misalnya untuk pembelian
barang-barang tertentu, maka bunga yang dikenakan pada pinjaman
dikaitkan dengan pokok pinjaman dan waktu jatuh tempo pinjaman.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bukanlah menjadi urusan bagi
bank konvensional terkait mengenai berapa harga barang yang akan dibeli
oleh seorang nasabah. Yang terpenting adalah bagaimana memperoleh
suku bunga terkait yang sedang berlaku (baik itu suku bunga tetap ataupun
tidak tetap). Dan menjadi tanggung jawab nasabah sendiri setelah
memperoleh pinjaman dengan suku bunga tertentu untuk membeli barangbarang
yang diperlukan berapapun harganya.
Akan tetapi tidak demikian halnya yang terjadi di perbankan
syariah melalui pembiayaan murabahah, di mana bank Islam terlebih
dahulu memastikan bahwa nasabah mengetahui total harga barang yang
dibutuhkan sebelumnya. Artinya, pinjaman yang diberikan atau disalurkan
kepada nasabah tetap memperhatikan apakah jumlah pinjaman tersebut
mencukupi untuk membayar apa yang akan dibeli atau tidak.
Dari kedua paparan tersebut, memang secara sekilas dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara keduanya. Akan tetapi, jika
ditinjau dan dianalisa lebih jauh di mana dalam penetapan bunga yang
berlaku di perbankan konvensional, suku bunga yang diberlakukan adalah
tergantung pada kebutuhan bank untuk mendapatkan keuntungan riil, yang
juga sangat tergantung pada kemungkinan terjadinya inflasi di masa
mendatan, preferensi likuiditas, jumlah permintaan pinjaman, kebijakan
moneter ataupun perkembangan suku bunga luar negeri. Dan hal itu
sebenarnya juga terjadi pada pemberlakuan mark-up pada pembiayaan
murabahah, di mana penetapannya juga didasarkan pada adanya faktorfaktor
yang melatar-belakanginya seperti adanya kebutuhan bank Islam
untuk memperoleh keuntungan riil dari pinjaman tersebut, termasuk
kemungkinan inflasi yang akan terjadi, perkembangan moneter,
marketabilitas barang-barang yang dijual melalui pembiayaan ini serta
tingkat laba yang diharapkan dari barang-barang tersebut.
Karenanya dapat disimpulkan dari perbandingan yang perta bahwa
faktor-faktor yang melatarbelakangi penetapan suku bunga pada
perbankan konvensional juga merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi
pemberlakuan mark-up dalam pembiayan murabahah. Oleh karenanya
konsekuensi dari kesamaan faktor ini adalah bahwa suku bunga dan markup
dalam murabahah untuk penyaluran dana-dana yang sebanding akan
sama.
Untuk perbandingan yang kedua dalam biaya dalam proses
pembiayaan, memang terkadang dapat terjadi jumlah mark-up sekilas lebih
tinggi atau lebih rendah dari suku bunga dominan, namun perbedaan
antara keduanya untuk pinjaman-pinjaman sejenis umumnya tidak terlalu
jauh. Kondisi mark-up yang lebih rendah umunya dapat terjadi jika dalam
pembelian barang-barang yang dibutuhkan nasabah dilakukan secara
borongan sehingga pihak bank dapat memperoleh diskon-diskon dari
penyalur untuk barang yang sama. Diskon-diskon inilah yang kemudian
ditransfer kepada para nasabah murabahah dalam bentuk mark-up yang
lebih rendah yang akan menurunkan biaya pembiayaan nasabah. Namun,
kondisi ini tidak akan terjadi ketika permintaan pembelian barang dilakukan
secara terpisah, dalam artian pembelian barang dilakukan ketika masingmasing
nasabah mengajukan permintaan pembelian yang berbeda. dan
kondisi inilah yang paling sering dan mungkin terjadi.
Dengan demkian dapat dikatakan bahwa pembiayaan murabahah
dengan sistem mark-upnya adalah sama dengan pinjaman yang
berdasarkan bunga atau bahkan dapat terjadi lebih besar (mahal). Di mana
dalam pembiayaan berdasarkan penetapan suku bunga tertentu dalam
pinjaman bank konvensional, pihak bankir ketika akan memberikan
pinjaman hanya cukup diberikan data-data finansial yang relevan untuk
menilai posisi keuangan nasabah dan menilai proyek yang dimohonkan
untuk dibiayai. Sementara itu dalam pembiayaan murabahah, pihak bankir
atau personil bank perlu untuk terlibat lebih jauh memberikan pembiayaan
ini, di mana dibutuhkan adanya penelitian pasar yang memakan biaya,
kertas kerja yang dihasilkan dari proses permintaan pembiayaan,
melakukan kontak dengan penyalur, penanganan dokumen ataupun
melakukan pemantauan yang terus menerus terhadap perkembangan
penjualan barang-barang murabahah setelah diberikan kepada para
nasabahnya.
2. Resiko Dalam Pembiayaan
Tentunya dalam setiap pembiayaan yang diberikan sebuah
lembaga keuangan seperti bank atau yang lainnya tidaklah terlepas dari
berbagai resiko yang akan menyertainya. Demikian jua halnya dengan
pembiayaan yang dilakukan menggunakan skim murabahah, di mana faktor
pembagian resiko (loss sharing) tetap ada dan menjadi alasan untuk
mengambil keuntungan. Dalam perbandingan yang kedua ini, pembahasan
mengenai resiko-resiko yang ada dalam pembiayaan akan difokuskan pada
resiko-resiko yang terkait dengannya, seperti :
a. Resiko yang tekait dengan barang
Salah satu resiko yang akan ditanggung oleh sebuah bank
Islam terkait dengan pembiayaan murabahah adalah resiko yang timbul
dari barang yang dijual kepada nasabah. Bank Islam ketika membeli
barang yang diminta oleh nasabah murabahahnya, maka secara teoritis
menanggung resiko kehilangan atau kerusakan pada barang-barang
tersebut dari saat pembelian sampai diserahkan kepada nasabah.
Artinya kondisi barang ketika diserahkan harus dalam keadaan baik
sesuai dengan pesanan atau permintaan. Hal ini memang sudah
menjadi ketentuan yang berlaku dalam hukum muamalah Islam.
Seorang nasabah menurut kajian fiqih Islam berhak menolak barangbarang
yang rusak atau kurang jumlahnya atau tidak sesuai dengan
spesifikasi yang diberikan.
Resiko-resiko tersebut mungkin kurang signifikan jika dikaitkan
dengan kontrak murabahah dalam konteks perdagangan domestik
(lokal). Akan tetapi dalam level perdagangan yang lebih luas
(internasional), resiko-resiko semacam itu tidak dapat diabaikan begitu
saja. Bagaimanapun juga dalam prakteknya untuk menghindari
timbulnya hal-hal semacam itu, bank Islam mengantisipasinya dengan
menetapkan biaya-biaya asuransi dalam klausul-klausul kontrak yang
dibuat dengan nasabah murabahah. Karenanya, dalam setiap kontrak
transaksi murabahah, biaya asuransi merupakan salah satu biaya yang
harus ditanggung oleh nasabah sebagai biaya yang ditambahkan pada
pengeluaran-pengeluaran murabahah untuk mencapai total harga
barang dan sebagai dasar bagai penentapan jumlah mark-upnya.
Kondisi ini memang berbeda dengan apa yang menjadi dasar
dari penetapan suku bunga dalam suatu pinjaman yang diberikan oleh
bank konvensional kepada debiturnya yang memang bersifat pinjaman
murni semata. Oleh karenanya, tidak dapat dipungkiri jika di dalam
pembiayaan murabahah ini markr-up yang ada ataupun total
pengembalian yang harus dikeluarkan oleh nasabah murabahah bisa
lebih besar dari suku bungan pinjaman bank konvensional.
b. Resiko yang tekait dengan pembayaran
Resiko lain yang mungkin terjadi dalam kontrak murabahah
adalah resiko yang terkait dengan pembayaran angsuran dari
nasabahnya. Karenanya untuk menghindari resiko ini, dalam klausul
kotrak tertulis yang dibuat sebagian besar bank Islam mengharuskan
adanya jaminan.
Kaitannya dengan resiko yang terkait dengan pembayaran ini
atau kemungkinan penunggakan nasabah untuk membayar
kewajibannya, bank Islam membedakannya sebagai berikut :
· Jika tidak adanya pembayaran atau ketidak mampuan seorang
nasabah dalam membayar diakibatkan oleh adanya faktor-faktor
di luar kemampuan nasabah untuk mengontrolnya, maka bank
Islam secara moral berkewajiban menjadwal ulang pembayaran
hutang tersebut.
· Jika nasabah memiliki kemampuan untuk membayar tepat waktu
dan tidak melakukannya, maka bank Islam dalam kondisi ini
menggunakan sistem denda kepada nasabahnya, yang
jumlahnya disesuaikan dengan “tingkat laba yang wajar” pada
dana bank yang diinvestasikan sebagai opportunitycost (biaya
untuk menutupi peluang yang hilang) dari modal tersebut.
· Jika pelunasan pinjaman tidak mungkin dilakukan, maka bank
Islam dalam sebagian besar prakteknya akan menyita jaminan
yang diberikan beserta barang-barang yang diserahkan kepada
nasabah.
Melihat beberapa kebijakan yang dilakukan oleh bank Islam
dalam menyikapi resiko pembayaran yang timbul dari pinjaman
murabahah yang diberikan, pada dasarnya memiliki kesamaan dengan
apa yang dilakukan oleh bank konvensional ketika debiturnya tidak
mampu mengembalikan atau melunasi pinjamannya sesuai kontrak
yang dibuat, seperti adanya penjadwalan hutang ataupun semacam
denda yang diberikan. Termasuk adanya keharusan untuk mengajukan
jaminan dari pinjaman yang diajukan, untuk memastikan pengembalian
pinjaman ketika jatuh tempo.
3. Hubungan Antara Bank Dan Pembeli
Untuk perbandingan yang ketiga, perbandingan antara sistem
bunga dan mark-up dapat dilihat dari adanya hubungan yang terjadi pada
kedua kontrak yang terjadi.
Pada awalnya, teori perbankan Islam mengatakan bahwa ciri
utama dalam hubungan antara pihak bank dan nasabah adalah “hubungan
kemitraan” yang berdasarkan prinsip profit and loss sharing (PLS), yang
dapat menghapus sifat hubungan yang biasa terjadi pada bank-bank
konvensional, yaitu hubungan antara kreditur dan debitur. Bagaimanapun
juga kondisi yang terjadi sulit untuk membenarkan teori tersebut,
mengingat begitu pentingnya peranan transaksi murabahah dalam
perbankan Islam yang secara keseluruhan dapat diperkirakan melebihi 75
persen dari kegiatan investasi yang ditawarkan.
Dalam murabahah, secara tidak langsung kontrak jual beli yang
terjadi membawa suatu hubungan kreditur-debitur antara pihak bank
dengan nasabah. Di mana si pembeli (nasabah) menyetujui untuk
membayar harga barang ditambah jumlah mark-up secara angsuran,
termasuk tanggal jatuh tempo angsuran yang ditentukan dalam kontrak.
Dengan demikian, ketika pihak bank dan nasabah menyepakati kontark jual
beli ini, harga jual yang diberikan menjadi tanggungan hutang nasabah
kepada bank bersangkutan, maka hubungan yang terjadi adalah hubungan
antara seorang kreditur dan debitur yang tidak ada bedanya dengan
hubungan yang terjadi pada kontrak pinjaman di bank konvensional.
4. Penyelesaian Hutang
Pada dasarnya pembiayaan yang dilakukan dalam suatu kontrak
murabahah yang harus dilunasi pada jangka waktu tertentu (angsuran)
tidak jauh berbeda dengan suatu pembiayaan yang didasarkan pada suku
bunga tetap pada perbankan konvensional.
Dalam kedua kontrak tersebut, pembiayaan adalah tetap dianggap
sebagai hutang, baik biaya pembiayaan yang ada dianggap atau disebut
sebagai bunga atau laba serta jangka waktu pembayarannya pun
ditetapkan. Perbedaan yang paling jelas adalah hanya terletak pada kondisi
ketika seorang debitu gagal melunasi hutangnya sesuai dengan jangka
waktu yang telah ditetapkan.
Di perbankan konvensional, pinjaman yang diberikan melalui
sistem bunga pada umumnya akan menimbulkan sanksi bunga tambahan
jika pinjaman tidak dilunasi pada saat jatuh tempo, baik si debitur mampu
membayar atau tidak. Sementara itu di perbankan Islam tidak demikian
adanya, tergantung pada kondisi ketidak-mampuan debitur dalam
membayar pinjamannya tersebut. Jika seorang debitur tidak mampu
melunasi hutangnya, maka pihak perbankan harus memberi kelonggaran
(toleransi) untuk melunasinya sesuai dengan perintah al-Qur’an dalam surat
al-Baqarah ayat 280. Penundaan semacam dalam inti konsepnya harus
diberikan tanpa melalui penambahan beban atau semacamnya seperti
adanya denda dan sebagainya atas waktu yang diberikan untuk
pembayaran tersebut. Hanya saja dalam praktek yang terjadi, sebagian
besar bank-bank Islam dengan dukungan dewan syariah mereka telah
mempersempit penafsiran perintah kandungan ayat tersebut. Menurut
mereka, penerapan perintah tersebut secara umum dapat memberikan
celah kepada para debitur untuk sengaja lalai untuk melunasi hutangnya,
padahal mereka mampu untuk melunasinya. Untuk itu, dalam rangka
mengantisipasinya mereka kemudian mengadopsi konsep denda bagi
debitur yang tidak dapat melunasi hutangnya tepat waktu, khususnya
untuk mereka yang mampu melunasinya. Alasan mereka adalah untuk
mengganti kerugian yang diderita bank akibat tidak terbayarnya hutang
tepat pada waktunya.
Namun, jika dilihat dari kegunaan yang ada dari konsep denda
yang diberlakukan ini, pada dasarnya adalah sama dengan tujuan-tujuan
praktis dari penerapan sistem bunga di bank-bank konvensional, ketika
hutang tidak dilunasi tepat waktu (sebagai kompensasi atas hilangnya
tingkat laba normal atau opportunity cost dari modal yang diinvestasikan).
Itu semua adalah tidak lain untuk menjamin dana-dana yang diberikan
kepada para nasabahnya.
Analisis Keuntungan Murabahah, Bunga Bank dan Riba
Kegiatan investasi yang dilakukan oleh sebagian besar dari bank
Islam tampaknya hanya memperhatikan kesesuaian kegiatannya dengan
ajaran hukum Islam secara parsial (tidak utuh) sebagaimana yang diterapkan
dalam praktik pembiayaan murabahah. Bank-Bank Islam menyatakan bahwa di
dalam al-Quran perdagangan untuk mendapatkan laba diperbolehkan,
kemudian juga dengan bentuk murabahah sebagai jual beli dengan
keuntungan atau laba yang ditetapkan. Dengan tidak adanya pembatasan
yang jelas atas jumlah laba yang boleh diambil oleh seseorang dalam suatu
kegiatan penjualan maka bank-bank Islam secara teoritis bebas menentukan
besar mark-up untuk suatu kontrak murabahah.
Kaitannya dengan hal tersebut ada kecenderungan bank Islam untuk
menafsirkan konsep riba sebagai sesuatu yang umumnya terjadi dalam
konteks transaksi finansial saja, yaitu kewajiban-kewajiban kontraktual untuk
membayar tambahan tertentu dalam utang piutang. Bank Islam tampaknya
juga berargumen bahwa al-Quran ataupun Sunnah tidak ada yang secara
khusus menegaskan bahwa setiap tambahan karena adanya tenggang waktu
yang diberikan dalam membayar hutang seperti yang terjadi dalam kasus
murabahah adalah riba.
Seorang pengamat perbankan Islam memberikan cacatan bahwa
bank-bank Islam termasuk mereka yang menjadi dewan pengawasnya
mengatakan bahwa pengharaman riba pada prinsipnya bukan masalah
ekonomi, tetapi pengharamannya adalah yang utama berdasarkan ketentuan
hukum yang ada. Yang diharamkan adalah semua keuntungan positif yang
ditetapkan di awal kontrak bagi pemilik modal dalam suatu transaksi finansial
murni, sedangkan murabahah yang menggunakan mark-up untuk menentukan
keuntungannya bukan merupakan transaksi finansial murni.
Sering dikatakan bahwa teknik mark-up atau batas laba dalam suatu
transaksi perdagangan adalah bunga dengan nama yang berbeda dan memang
asumsi ini jika dilihat dari sudut pandang ekonomi tidak memiliki perbedaan
yang mendasar antara keduanya. Perbedaannya adalah hanya terletak pada
permasalahan hukum dimana bunga adalah terkait dengan kontrak utang
piutang, sementara mark-up adalah identik dengan kontrak jual beli atau
penyewaan. Namun perbedaan hukum ini tampaknya tidak membuat batasan
laba dalam murabahah dengan bunga dalam utang piutang memiliki
perbedaan yang signifikan. Di sisi lain dari sudut pandang ekonomi
pembiayaan yang berdasarkan mark-up dalam murabahah tidak memiliki
manfaat ekonomis yang lebih baik jika dibandingkan dengan sistem pinjaman
yang berbasis bunga kecuali jika dalam pembiayaan murabahah harga yang
disepakati akan tetap sama sekalipun pembayaran tidak bisa dilakukan pada
waktu yang ditentukan (tepat waktu)
Penutup
Murabahah adalah suatu jenis pembiayaan yang termasuk dalam
kategori penjualan dengan pembayaran tunda. Meskipun tidak didasarkan
pada teks al-Quran dan Sunnah, namun dalam kajian fiqh Islam jenis transaksi
ini dapat dibenarkan. Bank-bank Islam telah menggunakan kontrak murabahah
dalam kativitas pembiayaan mereka dimana barang-barang dilibatkan dan
bank telah memperluas cakupan dan tingkat penggunaannya. Pembiayaan
semacam ini sekarang telah mencapai lebih dari tujuh puluh lima persen
pembiyaan bank Islam berkat kemampuannya untuk memberikan keuntungan
yang ditetapkan di muka dari investasi bank, sangat mirip dengan keuntungan
yang ditetapkan di muka pada bank-bank berbasis bunga.
Pembiayaan murabahah dan harga kreditnya yang lebih tinggi jelas
menunjukkan bahwa ada nilai waktu dalam pembiayaan berbasis murabahah
yang mendorong, meski secara tidak langsung, kepada pengakuan nilai waktu
pada uang. Gambpang sekali dilupakan bahwa mengakui nilai waktu pada
uang secara logika menggiring kepada pengakuan terhadap bunga. Dengan
mengakui nilai waktu dalam transaksi-transaksi murabahah dan kemudian
penolakan hal yang sama dalam transaksi-transaksi finansial, tampak sebagai
sikap yang tidak konsisten dan tidak logis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar