Jumat, 23 April 2010

DINAMIKA FIQH DI INDONESIA

(Telaah Historis Lahirnya Fiqh Keindonesiaan)
Oleh : H. Kusdar
Abstract: the rise of Indonesian-Islamic jurisprudence
proposal originates from the concerns that available Islamic
jurisprudence has put to much emphasis on Arabian context
so that it needs to be localized and contextualized. In general,
there are two themes of Islamic law reformation in Indonesia:
first, returning to the true message of Koran and Sunnah;
second, Indonesiazing existing Islamic jurisprudence. The
former is carried out by purifying Islamic rituals from non-
Islamic elements, opening the gate of ijtihad, eliminating
uncritical obedience to the school of law, allowing
eclecticism through comparative study. The latter is
conducted, among other things, by making customary law as
a source of Islamic law in Indonesia.
Kata Kunci : Fiqh Keindonesiaan, Reformasi, Hukum Islam
Pendahuluan
Di masa kolonial Belanda dan Jepang, hukum Islam di
Nusantara ini diselimuti keterbelakangan dalam berpikir, ia lebih
tersudut pada aspek ibadah, bercorak satu mazhab, memperkeras
taklid, larangan talfik dan larangan membuka pintu ijtihad. Kenyataan
ini masih dipersuram dengan miskinnya kajian metodologis.
Pemikiran hukum Islam lebih mementingkan hasil daripada proses
penyimpulan hukum, mengabaikan maslahat sebagai salah satu tujuan
hukum Islam, karena pendapat ulama seringkali di impor begitu saja
sebagai sebuah kebenaran tanpa dikaji ulang. Islam yang masuk di
Indonesia pada waktu itu lebih dipahami sebagai proses Arabisasi atau
lebih berkiblat kepada Arab dengan menafikan nilai-nilai lokalitas.
Lebih parah lagi kondisi ini diperkeruh dengan lahirnya kebijakan
pemerintah colonial dengan teori resepsinya, yaitu yang menjadi
patokan dalam penyelenggaraan hukum di Indonesia adalah hukum
adat, sedangkan hukum Islam baru bisa dijadikan sebagai rujukan
setelah terlebih dahulu diresepsi oleh hukum adapt.
Kondisi inilah kiranya yang menggugah kesadaran para
intelektual muslim untuk melakukan perubahan, agar muslim
Indonesia tidak terjebak pada perdebatan-perdebatan yang tidak
menyentuh permasalahan substantif.
Hasbi Ash Shiddieqy merupakan salah satu tokoh yang ikut
mendukung gerakan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai
Penulis adalah Dosen tetap Universitas Mulawarman.
118 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007 bentuk perlawanan terhadap pengekangan hukum Islam yang
didominasi hukum adat. Selanjutnya, dianggap perlu untuk
menggagas sebuah fiqh yang berorientasi lokal yang lebih dikenal
dengan istilah fiqh keindonesiaan. Hal ini didasari pada, bahwa
selama ini pemahaman umat Islam Indonesia terhadap hukum Islam
masih sangat kearab-araban, sehingga perlu kiranya membangun
kesadaran untuk menggagas fiqh lokalitas yang dapat mengakomodasi
kepentingan sosial muslim Indonesia.
Hal inilah yang menarik untuk ditelaah lebih lanjut dengan
melihat fakta sejarah, bagaimana lahirnya fiqh keindonesiaan yang
diyakini akan mendominasi proses pembaharuan hukum Islam di
masa yang akan datang.
Perkembangan Fiqh Di Indonesia (Mengenal Sosok Hasbi Ash
Shiddieqy)
Dalam pembahasan ini akan dikhusukan pada pembacaan
aktivitas Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy (1904-1975) dalam
kerangka reformasi hukum Islam di Indonesia abad ke-20.1 Ketika
ukuran ini hendak diambil, problem pun muncul karena sejarah
pembaharuan hukum Islam di Indonesia belum pernah ditulis secara
spesifik dan sistematis.2 Kajian biografis terlalu dominan tetapi
subyektif dengan mengabaikan tokoh-tokoh lain, yang sejatinya
dimasukkan ke dalam kategori yang sama. Pembaharuan hukum Islam
dijadikan sebagai gincu pemanis pembaharuan hukum Islam
(khususnya politik3) dan unsur pendamping bagi sistem pembangunan
hukum di Indonesia sebagai konsekuensi nasionalisme.
Sebagai terobosan untuk memecahkan problematika di atas.
Selanjutnya, penulis mencoba menggunakan dua pendekatan yang
ditawarkan dalam melakukan telaah yaitu “Kembali kepada al-Qur’an
dan Sunnah”, dan “Keindonesiaan”. Hal ini didasarkan pada dinamika
pembaharuan hukum Islam di Indonesia yang lebih mencerminkan
pelurusan pemahaman umat dan proses adaptasinya ke dalam
perubahan sosial. Pendekatan tematis di sini lebih menitik beratkan
pada aspek kesamaan kategori ketimbang urutan kronologis historis.
Ini berarti bahwa tema-tema yang berbeda dapat terjadi dalam waktu
1 Biografi Hasybi Ash-Shiddieqy lebih lengkapnya dapat dilihat misalnya A.
Abdul, “Tafsir al-Maraghi dan Tafsir an-Nur : Sebuah Studi Perbandingan”,
disertasi doctor, IAIN Sunan Kalijaga, 1985. Kemudian Nourouzzaman,
“Muhammamad Hasbi Ash Shiddieqy dalam Perspektif Pemikiran Ulama di
Indonesia,” diseratsi doktor, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1987.
2 Nasib buruk sejarah pembaharuan hukum Islam di Indonesia dapat disimak
dalam Norman Anderson, Law Reform in the Muslim World, (London : The Athlone
Press : 1976), h. 11 dan 26.
3 Contoh yang relevan dangan kondisi ini adalah sebagaimana yang ditulis
oleh Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1990-1994, (Jakarta : LP3ES,
1984).
H. Kusdar, Dinamika Fiqh di Indonesia…. 119 yang bersamaan dari tokoh yang berbeda atau bahkan sama. Dalam
konteks inilah peran Hasbi hendak diuji.
Gerakan Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah
Ketika Hasbi dilahirkan awal abad ke-20, hukum Islam di
Nusantara ini diselimuti keterbelakangan dalam berpikir, ia lebih
tersudut pada sapek ibadah, bercorak satu mazhab, memperkeras
taklid, larangan talfik dan larangan membuka pintu ijtihad. Kenyataan
ini masih dipersuram dengan miskinnya kajian metodologis.
Pemikiran hukum Islam lebih mementingkan hasil daripada proses
penyimpulan hukum, mengabaikan maslahat sebagai salah satu tujuan
hukum Islam, karena pendapat ulama seringkali di impor begitu saja
sebagai sebuah kebenaran tanpa dikaji ulang.
Secara eksternal politik, umat Islam berada di bawah kekuasaan
Belanda dengan hukumnya yang sangat terkenal, yakni teori resepsi.
Teori ini mengajarkan bahwa yang berlaku di Indonesia adalah hukum
adat bukan hukum agama. Sebagai konsekuensinya, hukum Islam
yang berasal dari Arab dan walaupun dipeluk oleh mayoritas tidak
berlaku kecuali telah diresepsi oleh hukum adat. Mendapat inspirasi
dari 163 IS, yang menbagi warga negara menjadi 3 golongan, maka
cengkeraman teori resepsi semakin kuat ketika Van Vollenhoven
membagi wilayah kekuasaan hukum adat menjadi 19. Kaum
pembaharupun mengeluarkan jurus ”Kembali kepada Al-Qur’an dan
Sunnah” untuk membenahi situasi yang mereka anggap tidak
mengutnungkan. Ulama yang akrab dengan cita-cita Al-Qur’an dan
Sunnah tetapi tidak menguasai sistem hukum, memotori gerakan ini.
Purifikasi praktek umat Islam dari pengaruh-pengaruh nonmuslim
mengawali gerakan ”Kembali kapada Al-Qur’an dan Sunnah”.
Dalam konteks abad ke-20, gagasan yang dicetuskan Gerakan
Paderi—yang mendapatkan inspirasi kuat dari Wahabi—ini
dilanjutkan oleh organisasi semisal Muhammadiyah, Persatuan Islam
dan Al-Irsyad. Kaum reformis menghukum amaliah, yang menurut
mereka tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai TBC, alias
Takhayul, Bid’ah, dan Churafat. Istilah bid’ah dan Sunnah menjadi
begitu populer sebagai ”palu hakim.” Talkin, tahlil, dan ziarah kubur,
yang dipraktekkan kaun tradisionalis menjadi sasaran tembak kaum
reformis.4 Sikap Hasbi sendiri dalam mendukung gerakan ini
sangatlah tegas. Ia bertekad memberantas segala macam bentuk TBC
demi kejayaan Islam. Ia mengatakan, melalui makalahnya ”Penoetoep
Moeloet”, bahwa amaliah kaum tradisionalis semisal talkin,
menggunakan ushalli dalam niat shalat, slametan sebagai perbuatan
4 Pembahasan ini secara lengkap dibahas oleh A. Hasan, Ar-Risalah al-
Mazhab : Wajibkah atau Haramkah Bermazhab, Bandung : Penerbit Persatuan
Islam, 1956. Lihat juga A. Hasan, Sual Djawab, No. 8 : 61-64, dikutip dalam
Howard M. Federsfiel, Persatuan Islam, h. 224.
120 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007 bid’ah. Kaum tradisionalispun balik menyerang, dan Hasbi dinyatakan
tersesat.5 Berbagai benturan ini menyebabkan Hasbi hijrah dari Lhok
Seumawe menuju Kutaraja, tempat kemudian ia menulis buku
Kriteria antara Sunnah dan Bid’ah”.
”Membuka pintu ijtihad” merupakan kelanjutan dari fase
purifikasi karena kaum reformis yakin bahwa ”penutupan pintu
ijtihad” merupakan faktor penyebab stagnasi pemikiran hukum Islam
di Indonesia, sebagai penyimpangan dari ajaran yang benar. Kaum
reformis begitu asyik memaksakan slogan ”pintu ijtihad tidak pernah
tertutup”. Tidak jarang mereka bentrok dengan kaun tradisionalis yang
mempertahankan status quo dalam hukum Islam. Sikap Nahdlatul
Ulama (NU), yang mendukung salah satu imam dari empat mazhab,
merupakan refleksi umum kaum tradisionalis yang viewed the world
as unchanging.6 Ini berbeda denga sikap kaum reformis yang
menekankan makna pentingnya ijtihad karena mereka saw it (the
world) as everchanging in history.7
Oleh karena itu, umat Islam, menurut kaum reformis, selalu
membutuhkan ijtihad baru untuk mengakomodasi perubahan sosial.
Ijtihad bagi Hasbi merupakan unsur utama dalam perkembangan
adaptabilitas hukum Islam sejak zaman Nabi. Sebagai
konsekuensinya, kesepakatan yang entah dari mana asalnya tetapi
mendominasi, bahwa ”pintu ijtihad telah tertutup” merupakan sikap
yang dapat menghancurkan syari’ah karena makna penting ijtihad
sebagai teori yang aktif, produktif, dan konstruktif dihambat oleh
konsensus ini.8 Berhubung ijtihad di zaman sekarang ini lebih mudah
dilakukan, Hasbi pun menegaskan bahwa ijtihad harus selalu ada
karena pintu ijtihad tidak akan pernah berhenti seiring dinamika
problematika dalam syari’at Islam.9
Demi kejayaan ijtihad, Hasbi berani menegaskan bahwa setiap
orang, asal memenuhi persyaratan boleh berijtihad karena ijtihad
bukan hak orang-orang tertentu dalam sejarah.10 Salah satu pedoman
yang ia wariskan adalah buku bertajuk Ruang Lingkup Ijtihad para
5 Ismail Ya’kub, “Gerakan Pendidikan di Aceh sesudah Perang Aceh-Belanda
sampai sekarang”, dalam Bunga Rampai tentang Aceh, ed., Ismail Suny, (Jakarta :
Brata Karya Aksara, 1980), h. 332.
6 Yudian Wahyudi, Ushul Fiqh versus Hermeneutika, (Yogyakarta : Nawesea
Press, 2006), h. 29.
7 Ira M. Lapidus, a History of Muslim Societies, 4th edition, (Cambridge :
Cambridge university Press, 1990), h. 765.
8 Hasbi Ash Shiddieqy, Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam, (Jakarta :
Tintamas, 1975), h. 15. Idem, Fakta dan Keagungan Syari’at Islam, edisi ke-2,
(Jakarta : Tintamas, 1982), h. 26. Idem, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta :
Bulan Bintang, 1975), h. 57. Idem, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1970), h. 43.
9 Hasbi Ash Shiddieqy, Beberapa Permasalahan Hukum Islam, (Jakarta :
Tintamas, 1975), h. 3-4.
10 Hasbi Ash Shiddieqy, Fakta Keagungan…., h. 26.
H. Kusdar, Dinamika Fiqh di Indonesia…. 121 Ulama dalam Membina Hukum Islam.
Taklid menurut kaum reformis merupakan konsekuensi nyata
yang diakibatkan oleh semboyan ”pintu ijtihad telah tertutup”.11 A.
Hasan menegaskan, bahwa taklid mengakibatkan kemunduran umat
Islam secara umum, suatu pandangan yang mendapat sambutan hangat
dari banyak pihak semisal Moenawar Chalil dan Ahmad Dahlan.
Dengan berbekalkan tokoh-tokoh sekaliber Ibnu Taimiah,
Jamaluddim al-Afghani, dan Muhammad Abduh, kaum reformis
berusaha untuk mendobrak benteng taklid. Taklid menurut mereka
harus disingkirkan dari pemahaman umat Islam. Fanatisme mazhab
menurut Hasbi berakibat memperlemah adaptabilitas hukum Islam
terhadap perkembangan masyarakat. Ijtihad itu relatif tegantung pada
perbedaan konteks, sehingga hasil ijtihad jama’i maupun fardhi
bukanlah hukum yang harus diterapkan di seluruh belahan dunia Islam
untuk selamanya.
Itulah sebabnya mengapa tak seorangpun dibenarkan memaksa
orang lain untuk menganut mazhab tertentu—yang kadang kala tidak
dapat menjawab kebutuhan, padahal mazhab lain menyediakan
jawaban terhadap permasalahan tersebut—agar syari’at Islam tetap
fleksibel. Jadi umat Islam di Indonesia tidak usah sungkan-sungkan
mengendorkan fanatisme kemazhaban mereka. Pelunakan kerak-kerak
taklid juga dilakukan dengan memperkenalkan talfik yang selama ini
dilarang.
Menurut Hasbi, talfik adalah istilah yang dibuat oleh pengikut
Imam Syafi’i. Talfik bukanlah istilah sakral, sehingga umat Islam
boleh melakukannya. Untuk itu kaum reformis memperkenalkan studi
perbandingan mazhab. Langah ini diperkuat dengan penerbitan
sejumlah karya perbandingan, bahkan ushul fiqh dan filsafat hukum
Islam buah pena putera Indonesia.
Keindonesiaan
Munculnya gerakan reformasi terhadap rigisitas hukum Islam
melahirkan sebuah konsep fiqh yang lebih berbasis lokal atau dapat
dikatakan sebagai fiqh keindonesiaan. Keindonesiaan merupakan
kelanjutan dari tema ”Gerakan Kembali kepada Al-Qur’an dan
Sunnah” tetapi sekaligus merupakan sikap kembali kepada sikap dan
pola pikir tradisional yang mempertahankan adat tetapi ditolak oleh
kaum reformis. Kaum reformis keindonesiaan bercita-cita ingin
membangun hukum Islam yang indegenous keindonesiaan. Mereka
berusaha membebaskan adat Indonesia dari adat Arab karena menurut
mereka, Islam tidak berarti Arab. Di samping itu, perbedaan adat ini
sangat dipengaruhi oleh realita bahwa posisi Indonesia terletak di
11 B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, (The Haque :
Martinus Nijhoff, 1971), h. 213-214.
122 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007 pinggiran bukan di tengah-tengah dunia Islam.12 Ruang gerak ijtihad
yang dijadikan sarana untuk mewujudkan hukum Islam ala Indonesia
ini tidak memasuki wilayah ibadah.
Pada awal tahun 1950-an, Hazairin menawarkan konsep
”Mazhab Nasional”, walaupun bertulang punggung mazhab Syafi’i,
tetapi mazhab nasional membatasi ruang lingkupnya pada hukumhukum
non-ibadah yang belum dijadikan undang-undang oleh
negara.13 Pada tahun 1987, Munawir menawarkan kaji ulang terhadap
interpretasi hukum Islam, dengan menekankan pada perubahan ’urf,
maslahat, dan mafsadat—yang populer sebagai ”Reaktualisasi hukum
Islam”—walau Munawir menyebutnya ”Dinamika Hukum Islam”.14
Di tahun yang sama, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengemukakan
gagasan ”Pribumisasi Islam” dan Masdar F. Mas’udi menawarkan
konsep ”Zakat sebagai Pajak”.15 Jauh sebelum teori-teori
keindonesiaan hukum Islam ini muncul, pada tahun 1940, Hasbi telah
mengemukakan gagasan tentang perlunya pembentukan ”Fiqh
Indonesia”, yang pada tahun 1961 ia definisikan sebagai ”fiqh yang
ditentukan berdasarkan kepribadian dan karakter bangsa indonesia”.16
Keindonesiaan hukum Islam di Indonesia juga mengarah kepada
konstitusional hukum Islam. Pada umumnya, orientasi ini dimotori
oleh sarjana atau tokoh non-ulama yang memahami sistem hukum
Indonesia, tetapi hampir tidak mengerti prinsip-prinsip ”kembali
kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Cita-cita agar hukum Islam dijadikan
Undang-undang Dasar Negara dicuatkan kembali oleh wakil-wakil
umat Islam dalam BPUPKI.17 Aspirasi yang dikemukakan dalam rapat
Panitia kecil BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 ini berhasil
memasukkan persyaratan, ”Dengan kewajiban menjalankan syari’at
Islam bagi pemeluk-pemeluknya” ke dalam Piagam Jakarta.
Persyaratan ini disahkan sebagai keputusan Panitia Kecil pada tanggal
22 juni 1945, tetapi akhirnya diganti dengan, ”Ketuhanan Yang Maha
Esa” demi non-mislim, khusunya orang Kristen.18 Memang tidak ada
12 Lihat M. Dawam Rahardjo, “Melihat ke Belakang, Merancang Masa
Depan; Pengantar”, dalam Islam di Indonesia Menatap Masa Depan, ed., Muntaha
Azhari dan Abdul Mu’im Saleh, (Jakarta : P3M, 1989), h. 13. Lihat juga Nurcholish
Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung : Mizan, 1992), h. 62.
13 Hazairin, Hukum Kewarganegaraan Nasional, edisi ke-3, (Jakarta :
Tintamas, 1982), h. 6.
14 Munawir Sjadzali, “Reaktualisasi Ajaran Islam”, dalam Polemik
Reaktualisasi Ajaran Islam, ed., Iqbal Abdurrauf Sainima, (Jakarta : Pustaka
Panjimas, 1980), h.1.
15 Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan :Risalah Zakat (pajak) dalam Islam,
edisi ke-3, (Jakarta : P3M, 1993).
16 Hasbi Ash Shiddieqy, Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman,
(Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga, 1961), h. 24.
17 Baca Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan : Studi
tentang Peratiran dalam Konstitusi, (Jakarta : LP3ES, 1985), h. 101, 102, dan 126.
18 M.T. Arifin, Muhammdiyah Potret yang Berubah, Surakarta : Institusi
H. Kusdar, Dinamika Fiqh di Indonesia…. 123 indikasi bahwa Hasbi ambil bagian dalam proses ini, tetapi pada
prinsipnya ia mendukung pihak-pihak yang mensyaratkan syari’ah.
Negara Islam Indonesia yang diproklamirkan pada bulan
Agustus 1949, juga membawa aspek konstitusionalisasi hukum Islam.
Qanun Asasi (Undang-undang Dasar)nya menegaskan bahwa hukum
yang berlaku di negara ini adalah hukum Islam yang berdasarkan pada
Al-Qur’an dan Hadis Shahih (Pasal 1).19 Pemberontakan terhadap
pemerintahan Republik Indonesia ini didukung oleh Kahar Muzakkar,
yang memproklamirkan bahwa ”sejak 7 Agustus 1953, Sulawesi
Selatan menjadi bagian Negara Islam Indonesia”. Pada tanggal 21
September 1953, Daud Berureuh pun mengeluarkan pernyataan
memproklamirkan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam
Indonesia.20 Namun demikian, Negara Islam Indonesia runtuh
bersamaan dengan dieksekusinya sang Imam, Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo oleh Pemerintah Republik Indonesia pada bulan
Agustus 1962 (setelah tertangkap pada tanggal 4 Juli 1962). Hasbi
menyalurkan ide-ide konstitusionalnya melalui Kongres Muslimin
Indonesia (20-25 Desember 1949)21, yang secara politik memang
tidak mendukung Negara Islam Indonesia.
Reorientasi Fiqh Indonesia dan Reformasi Hukum Islam Di
Indonesia
Berbicara tentang fiqh Indonesia, yaitu fiqh yang ditentukan
berdasarkan kepribadian dan karakter bangsa Indonesia22, tentunya
merupakan keasyikan tersendiri bagi mereka yang berkepentingan.
Pro dan kontra merupakan bagian yang tak terpisahkan, sekaligus
sebagai bumbu penyedap. Pihak-pihak yang menolak biasanya
berangkat dari asumsi bahwa fiqh (bukan syari’ah) bersifat universal.
Asumsi ini diwakili oleh Alie Yafie dan Ibrahim Hosen yang tegastegas
menolak kehadiran Fiqh Indonesia. Dari kritik mereka, ternyata
ada kesan bahwa mereka mengukur suatu konsep dengan anggapan
mereka sendiri, bukan berdasarkan pada pengertian khusus yang
Gelanggang Pemikiran Filsafat Sosial Budaya dan Kependidikan (Surakarta: 1990),
h. 197.
19 Lihat Pemerintah Negara Islam Indonesia, “Nota Rahasia”, (22 Oktober
1950/1 Muharram 1370), dikutip dalam Bolland, The Struggle of Islam, Appendix II
: h. 247.
20 Barbara Sillars Vervey, Pemberontakan Kahar Muzakkar dari Tradisi ke
DI/TII, (Jakarta : Gratifipers, 1989), h. 198-199.
21 Lihat Hasbi Ash Shiddieqy, “Pedoman Perjuangan Umat Islam Mengenai
Soal Kenegaraan”, dalam Buang Kongres Muslimin Indonesia, 20-25 Desember
1949, ed. P.P.K.M.I., (Yogyakarta : Badan Usaha dan Penerbitan Muslimin
Indonesia, 1950), h. 220.
22 Pernah diterbitkan dalam Islam Berbagai perspektif : Didedikasikan untuk
70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzili, MA, ed. Sudarnoto Abdul Hakim, Hasan
Asari, dan Yudian W. Asmin, (Yogyakarta : Lembaga Penterjemah dan penulis
Muslmi Indonesia, 1995), h. 223-232.
124 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007 dicetuskan oleh si pemilik ide. Kekeliruan ini mungkin diakibatkan
oleh keengganan membaca secara teliti konsep Fiqh Indonesia yang
dikemukakan oleh Hasbi Ash Shiddieqy. Sedangkan Hasbi Sendiri
belum sempat menyusun gagasannya secara sistematis sehingga
menyebabkan orang lain salah dalam memahami gagasan besarnya.23
Sebaliknya, orang-orang yang mendukung Fiqh Indonesia
seringkali mencerminkan sikap yang sama. Mereka mendukung
sesuatu yang tidak mereka ketahui. Kenyataan ini dapat dilihat dalam
buku Fiqh Indonesia dalam Tantangan, yang menyebut Fiqh
Indonesia sebagai gagasan Hasbi an sich, mereka tidak, apalagi
mengetahui ruang lingkup dan metodologinya. Kesalahan ini
dipertajam oleh Alyasa Abubakar yang tidak lagi membedakan antara
teori Mazhab Nasional (Hazairin) dengan Fiqh Indonesia (Hasbi).
Kekeliruan Alyasa ini sudah dumulai ketika ia menulis disertasinya
yang kemudian diringkas menjadi salah satu makalah dalam buku
Fiqh Indonesia dalam Tantangan di atas.24
Reformasi tentunya memiliki makna luas, tetapi jika dikaitkan
dengan perkembangan hukum Islam di Indonesia maka konotasinya
lebih bersifat meluruskan pemahaman umat Islam. Di samping itu,
reformasi juga bermakna upaya mengadaptasikan hukum Islam ke
dalam perubahan sosial yang oleh para pakar disebut modernisasi
hukum Islam. Secara garis besar, ada dua tema reformasi hukum Islam
di Indonesia sebagai yang telah dipaparkan pada pembahasan
sebelumnya, yaitu pertama, kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah,
dan kedua, keindonesiaan. Tema pertama ditandai dengan langkahlangkah
yang bertujuan membersihkan praktik-praktik umat Islam dari
pengaruh non-Islam; membuka pintu ijtihad yang selama ini tertutup;
mengganyang taklid; memperbolehkan talfik dengan cara
memperkenalkan studi perbandingan mazhab. Reformasi “Kembali
kepada Al-Qur’an dan Sunnah” ini dimotori oleh ulama yang kurang
menguasai sistem hukum Indonesia seperti A. Hassan, Moenawar
Chalil, dan Hasbi Ash Shiddieqy. Tema kedua adalah keindonesiaan,
yang pada dasarnya merupakan kelanjutan dari tema “Kembali kepada
Al-Qur’an dan Sunnah”. Ada dua kecenderungan utama tema
keindonesiaan, yaitu cita-cita untuk membangun hukum Islam yang
berciri khas Indonesia dengan cara membebaskan budaya Indonesia
dari budaya Arab dan menjadikan adat Indonesia sebagai salah satu
sumber hukum Islam di Indonesia. Kecenderungan pertama ini
ditandai dengan lahirnya konsep Fiqh Indonesia (Hasbi, 1940),
Mazhab Nasional (Hazairin, 1950-an), Pribusasi Islam (Gus Dur,
1988), Reaktualisasi Ajaran Islam (Munawir dkk., 1988), dan Zakat
23 Yudian Wahyudi, Ushul Fiqh…., h. 35-36. Lihat juga Nourouzzaman
Shiddiqi, “Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy dalam Perspektif Pemikiran Islam di
Indonesia”, disertasi doktor, IAIN Sunan Kalijaga, 1987, h. 490.
24 Ibid.
H. Kusdar, Dinamika Fiqh di Indonesia…. 125 sebagai Pajak (Masdar F. Mas’udi, 1991). Kecenderungan yang kedua
adalah keindonesiaan yang berorientasi konstitusional. Ini dimotori
oleh tokoh-tokoh umum yang menguasai sistem hukum Indonesia,
tetapi kurang mendalami prinsip-prinsip “Kembali kepada Al-Qur’an
dan Sunnah”.
Orientasi konstitusional ini dapat dibagi lagi ke dalam beberapa
tahapan, dari sikap yang keras kemudian melunak. Pertama adalah
keinginan untuk membangun Negara Islam dengan cara menjadikan
hukum Islam sebagai Undang-Undang Dasar Negara, seperti
tercermin dalam sikap umat Islam dalam sidang BPUPKI, Piagam
Jakarta, Negara Islam Indonesia, dan sidang-sidang Konstituante.
Semua perjuangan ini berjalan sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku, kecuali jalan yang ditempuh Negara Islam Indonesia melalui
pemberontakan.
Setelah kekalahan-kekelahan ini, kaum reformis memperlunak
langkah-langkah mereka. Walaupun tidak lagi mencita-citakan Negera
Islam, tetapi mereka masih saja harus menyingkirkan rintangan
konstitusional, yaitu mengganyang teori resepsi25 dengan Haizirin
yang tampil sebagai tokoh sentral. Dari sini kaum reformis melangkah
dengan program Kompilasi Hukum Islamnya. Tentu saja kodifikasi
hukum Islam juga menjadi perhatian serius mereka, dengan hasil
Undang-Undang No. 1/1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang
No. 7/1989 tentang Peradilan Agama. Jadi, jelaslah bahwa Fiqh
Indonesia tidak hanya merupakan inisiatif pertama menuju
keindonesiaan hukum Islam di Indonesia, tetapi sekaligus merupakan
jembatan penghubung antara tema ”Kembali kapada Al-Qur’an dan
Sunnah”, dengan orientasi keindonesiaan yang konstitusional. Jadi
keiindonesiaan Islam di Indonesia dimulai dari aspek hukum bukan
dari aspek lainnya.
Metodologi Fiqh Indonesia
Fiqh Indonesia, sebagai suatu upaya pembaharuan bercorak
lokal, harus terlebih dahulu menentukan ruang lingkup dengan cara
membedakan tiga istilah di Indonesia yang sering dianggap sama.
Fakultas Hukum Islam di lingkungan perguruan tinggi yang bernaung
di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menggunakan
istilah untuk menyebut mata kuliah yang membahas tentang
perkawinan, kewarisan, dan wakaf. Batasan semacam ini menurut
Hasbi jelas berakibat menciutkan pengertian syari’ah yang mencakup
hukum-hukum akidah, akhlak, dan amaliah. Fiqh yang secara teknis
sering dipahami sebagai ”hukum-hukum syari’ah yang dihasilkan dari
dalil-dalilnya”, merupakan bagian dari syari’ah itu sendiri, tetapi lebih
25 Teori ini menyatakan bahwa hukum yang berlaku di Indonesia adalah
hukum adapt bukan hukum agama. Sebagai konsekuensinya, hukum Islam yang
diimpor dari luar Indonesia itu tidak berlaku kecuali setelah diresepsi oleh adat.
126 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007 luas daripada hukum Islam karena fiqh mencakup hukum-hukum
muamalah dan ibadah, di mana aspek yang terakhir ini mencakup
dalam istilah hukum Islam.
Menyadari konsekuensi yang harus diterima bahwa
menyamakan syari’ah dan fiqh berarti menganngap keduanya bersifat
universal, absolut, dan abadi, maka Hasbi mengatakan bahwa syari’at
Islam sajalah yang memiliki ketiga sifat tersebut. Dengan kata lain,
syari’ah, begitu menurut Nourouzzaman menjelaskan pendapat Hasbi
lebih sebagai hukum in abstracto dan sebaliknya fiqh lebih bersifat
sebagai hukum in concreto.
Lebih lanjut, Hasbi membagi fiqh menjadi fiqh Qur’ani yaitu
hukum yang secara tegas ditemukan di dalam al-Qur’an dan fiqh
Nabawi yaitu hukum yang tidak disinggung oleh Al-Qur’an tetapi
ditegaskan oleh Hadis. Ketiga adalah fiqh ijtihadi yaitu hukum-hukum
yang dicapai melalui ijtihad para ulama. Fiqh ijtihadi merupakan inti
fiqh Indonesia ya g dijiwai oleh syari’ah, bersifat dinamis dan elastis
karena dapat berubah sesuai dengan rruang dan waktu. Jadi fiqh
ijtihadi bersifat lokal, temporal, dan realtif. Jelaslah di sini bahwa
kritik Alie Yafie dan Ibrahim Hoesen yang beranggapan bahwa fiqh
itu bersifat universal, tidaklah mengenai sasaran. Hal ini diperkuat lagi
oleh kenyataan bahwa Hasbi membatasi ruang lingkup fiqh
Indonesianya pada bidang non-ibadah dan non-qat’i.
Untuk menjustifikasi lokalitas fiqh Indonesia, Hasbi berpegang
pada sejarah perkembangan fiqh (tarikh tasyri’). Tarikh tasyri’Hasbi,
menurut Hasbi membuktikan bahwa fiqh lokal telah muncul sejak
awal penyebaran Islam melawati batas-batas Mekah dan Madinah.
Mazhab Hanafi di Kufah, Maliki di Madinah, Syafi’i di Baghdad
(mazhab qadim) dan kemudian di Mesir (mazhab jadid), di samping
mazhab Hambali di Baghdad, tentunya merupakan bagian dari contoh
yang populer. Lokalitas mazhab-mazhab ini menurut Hasbi,
dikarenakan perbedaan pendapat, tempat, adat istiadat dan jiwa si
mujtahid sendiri.26 Walau dilegitimasi oleh tarikh tasyri Hasbi masih
saja menekankan bahwa lokalitas fiqh Indonesia harus ditopang oleh
studi kasus (dirasat al-waqa’i) mengenai masyarakat Indonesia
dengan sistem masyarakat lainnya yang sezaman. Studi ini harus
menggunakan pendekatan sosiologi hukum dan studi hukum secara
umum untuk melihat pengaruh dan kemampuannya menyelesaikan
kebutuhan-kebutuhan masyarakatnya, dan setelah itu barulah
memasuki fase problem soulving.
Hasbi menganjurkan agar para pendukung fiqh Indonesia
menggunakan metode perbandingan mazhab manakala problem yang
dihadapi sudah diberikan pemecahannya oleh ijtihad dalam berbagai
26 Bassam Tibi, Islam and the Cultural Accommodation of Social Change,
terj. Clare Krojl, (Boulder : Westview Press, 1990), h. 66.
H. Kusdar, Dinamika Fiqh di Indonesia…. 127 mazhab yang ada. Perbandingan yang tidak terbatas pada mazhab
Sunni ini dibagi menjadi dua tahap. Pertama, memilih dari kalangan
empat mazhab Sunni. Kedua, memilih dari semua mazhab termasuk
non-Sunni. Kedua-duanya dilakukakn demi mencari pendapat yang
paling sesuai dengan konteks ruang, waktu, karakter dan kemaslahatan
bangsa Indonesia. Studi perbandingan mazhab ini harus diikuti dengan
studi perbandingan ushul fiqh dari masing-masing mazhab, dengan
harapan agar pandangan tersebut dapat terpadu atau bahkan bersatu.
Studi perbandingan ushul fiqh ini dilakukan dengan tahapantahapan
sebagai berikut :
1. Mengkaji prinsip-prinsip yang dipegang oleh setiap imam
mazhab maupun masalah-masalah yang mereka perselisihkan
dengan meneliti alasan-alasan mereka.
2. Mengkaji dalil-dalil yang dijadikan rujukan maupun yang
diperselisihkan.
3. Mengkaji argumen yang ditawarkan oleh masing-masing imam
mazhab mengenai dalil-dalil yang diperselisihkan dan memilih
argumen-argumen yang kuat.
Tahapan-tahapan tersebut harus didukung dan didahului dengan
pendirian Fakultas Ushul Fiqh atau paling tidak Jurusan Ushul Fiqh.
Hasbi lebih menguatkan bahwa fiqh Indonesia akan sangat fleksibel
jika didukung oleh perbandingan yang bersifat sistematis antara fiqh
dan hukum adat Indonesia, antara fiqh dan sistem hukum Indonesia,
antara fiqh dan syari’at (agama-agama) lain, dan antara fiqh dengan
sistem hukum internasional.
Sebaliknya, jika problem yang dihadapi belum pernah diberikan
pemecahannya oleh mujtahid-mujtahid terdahulu, maka dianjurkan
agar pendukung fiqh Indonesia melakukan ijtihad bi al-ra’yi, yaitu
menentukan hukum berdasarkan pada maslahat, kaidah-kaidah kulliat
dan illat (kausa) hukum, sedangkan metode yang ditempuh ada
kalanya :
1. Qiyas yang dilakukan dalam kondisi terpaksa, tidak
menyangkut masalah ibadah. Selain qiyas illat dan qiyas
dalalah, tidak berlaku.
2. Istihsan dengan berbagai macamnya : istihsan bin naas,
istihsan bil ijma’, istihsan bil qiyas, istihsan bid daruraah,
istihsan bil maskahah, dan istihsan bil ’urf.
3. Istislah, dengan ketentuan bahwa sesuatu dapat dinyatakan
sebagai maslahat jika merupakan maslahat hakiki; berlaku
umum tidak hanya terbatas pada segelintir orang; harus
diputuskan oleh ahl al-Hall wa al-’Aqd. Jika maslahah
bertentangan dengan nash, maka maslahah mentakhsis
(mengkhususkan) nash dengan menjadikan hadis ”La darara
wa la dirara” sebagai kata kunci di akhir analisa.
128 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007 4. ’Urf dengan ketentuan tidak menghalalkan barang haram dan
tidak mengharamkan barang halal; dapat mendatangkan
maslahat dan mengholangkan mafsadat; tidak bertentangan
dengan nash sharih (ekspilist); di samping itu harus diputuskan
oleh ahl al-Hall wa al-’Aqd. Atau
5. Istishab. Metode-metode ini selalu berjalan seiring dengan
kaidah-kaidah yang relavan.
Mengindonesiakan Fiqh Indonesia
Tuntutan bahwa fiqh Indonesia mengimplikasikan ushul fiqh
Indonesia akan mulai terjawab ketika dua komponen utama dalam
metodologi fiqh Indonesia, di Indonesiakan. Pertama. ‘urf Indonesia
dijadikan sebagai salah satu hukum Islam di Indoensia. Di sini Hasbi
Asy-Syiddiqi memainkan peran besar dalam mendekatkan kaum
reformis puritan dengan praktek hukum umat Islam di Indonesia.
Kedua, ijma’, di mana Hasbi baru sampai pada tingkat teoritis melalui
ijtihad jama’i dengan lembaga Ahl al-Hal wa al-‘Aqd-nya. Di sini
Hasbi menggunakan istilah-istilah Arab yang diambil begitu saja dari
sejarah Islam. Di samping itu, beberapa lembaga yang didirikan umat
Islam Indonesia belum ada ketika Hasbi mengemukakan pemikiranpemikirannya.
Oleh karena itu, ada baiknya jika kita mengkaitkan
lembaga-lembaga tersebut dengan beberapa lembaga sosial politik
yang hidup di dalam masyarakat Indonesia.
Dapat dikatakan, bahwa Hay’at al-Tasyri’iyyah itu adalah
Majelis Ulama Indonesia (MUI), dengan mujtahid-mujtahid yang
diambil dari perwakilan organisasi Islam, semisal Nahdlatul Ulama,
Muhammadiyah, Persatuan islam, dan Al-Irsyad. Ini dengan asumsi
bahwa calon mujtahid Indonesia adalah mereka yang menamatkan S1
Fakultas Syari’ah, yang dapat ditolelir hingga tahun 1985. Sedangkan
untuk pasca-1985 hingga tahun 2000, persyaratan itu adalah lulusan
S2, dan pasca-2005 seharusnya menetapkan standar S-3. Bagi mereka
yang tidak memiliki ijazah formal, tetap dapat diakui sebagai calon
mujtahid setelah keahlian mereka telah terprovikasi.
Sedangkan Ahl al-Ikhtisas versi Hasbi dapat diterjemahkan
menjadi Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Lebih
lanjut, Hay’at al-Siyasah versi Hasbi dapat diterjemahkan menjadi
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Mejelis permusyawaratan
Rakyat (MPR). Ini dilakukan dengan alasan ‘urf dalam pengertian
yang lebih luas, dimana kedua lembaga tersebut merupakan tempat
bangsa Indonesia melahirkan berbagai regulasi. Umat Islam dapat
memanfaatkan lembaga ini untuk tujuan yang sama demi
terundangkannya nilai-nilai hukum Islam yang pelaksanaannya
memang membutuhkan legitimasi kekuasaan. Prsyaratan pendidikan
formal yang berlaku bagi calon mujtahid, juga berlaku bagi kaum
spesialis sesuai dengan bidang mereka masing-masing.
H. Kusdar, Dinamika Fiqh di Indonesia…. 129 Secara historis, fiqh Indonesia yang dikemukakan pada tahun
1940, di saat Indonesia belum merdeka dan masih merupakan cita-cita
dan keberpihakan kaum nasionalis menentang kolonial Belanda. Hal
ini dapat dilihat dari Indonesia, yang ada dalam istilah fiqh Indonesia,
bukan fiqh Aceh tempat kelahiran Hasbi. Tentu saja tidak boleh
dilupakan bahwa terma fiqh dalam konteks fiqh Indonesia itu sendiri
juga mencerminkan jiwa Hasbi sebagai seorang reformis yang secara
tegas mengatakan bahwa suatu mazhab akan berkembang lebih cepat
jika dianut oleh suatu pemerintahan. Di sini Hasbi menekankan makna
penting kerja sama umat Islam Indonesia dengan pemerintah mereka.
Anjuran Hasbi tentunya tidak sulit lagi untuk diterima oleh umat Islam
Indonesia sekarang ini, setelah mereka semakin matang dan bernegara
nasional.
Penutup
Secara internal (Indonesia), pembaharuan hukum Islam
diarahkan untuk membenahi kelemahan-kelemahan umat Islam
Indonesia dengan fokus pada upaya-upaya untuk memurnikan praktikpraktik
keagamaan umat dari pengaruh-pengaruh non-Islam;
membuka pintu ijtihad yang selama ini dianggap tertutup;
mengendorkan fanatisme mazhab; memperluas bidang kajian Islam
secara akademis, dan; pengenalan metodologi penetapan hukum Islam
yang diaplikasikan ke dalam studi perbandingan mazhab. Dalam hal
ini, Hasbi telah memberikan kontribusi besar dalam rangka
mewujudkan pembaharuan dengan jargonnya “Kembali kepada Al-
Qur’an dan Sunnah”. Dalam perkembangannya, pembaharuan ini
melunak dari sikap fundamentalis-puritan menuju sikap lokalis, yang
ditandai dengan munculnya gagasan “Mazhab nasional”,
“Reaktualisasi Hukum Islam”, “Pribumisasi Hukum Islam”, dan
“Zakat sebagai Pajak”. Hasbi sendiri mempertegas kehadirannya
dengan menawarkan konsep “Fiqh Indonesia”.
Berbeda dengan tema “Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah”
yang secara radikal berusaha memurnikan praktik-praktik umat dari
pengaruh adat, tema “Keindonesiaan” justru berupaya menerima dan
mengakomodasi adat dengan menjadikannya sebagai bagian dari
dirinya tetapi setelah melakukan seleksi. Politik merupakan faktor
yang paling dominan dalam rangka memperkokoh tema
“Keindonesiaan”, yang bermaksud untuk memahami dan
mengimplementasikan cita-cita pembuat undang-undang di Indonesia,
sebuah negara bekas jajahan yang bercita-cita membangun sistem
hukumnya sendiri. Setelah melalui ketegangan-ketegangan politik,
dari yang sangat keras hingga diplomasi penuh senyum, akhirnya
pembaharuan hukum Islam Keindonesiaan bercorak konstitusional
pun membuahkan hasil dan nampaknya akan mendominasi
pembaharuan hukum Islam di Indonesia di masa-masa akan datang.
130 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007 DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakim, Sudarnoto, Hasan Asari, dan Yudian W. Asmin ED.,
Islam Berbagai perspektif : Didedikasikan untuk 70 Tahun
Prof. Dr. H. Munawir Sjadzili, MA, Yogyakarta : Lembaga
Penterjemah dan penulis Muslmi Indonesia, 1995.
Abdul, A, “Tafsir al-Maraghi dan Tafsir an-Nur : Sebuah Studi
Perbandingan”, disertasi doctor, IAIN Sunan Kalijaga, 1985.
Anderson, Norman, Law Reform in the Muslim World, London : The
Athlone Press : 1976.
Arifin, M.T., Muhammdiyah Potret yang Berubah, Surakarta :
Institusi Gelanggang Pemikiran Filsafat Sosial Budaya dan
Kependidikan Surakarta, 1990.
Boland, B.J., The Struggle of Islam in Modern Indonesia, The Haque :
Martinus Nijhoff, 1971.
Hasan, A, Ar-Risalah al-Mazhab : Wajibkah atau Haramkah
Bermazhab, Bandung : Penerbit Persatuan Islam, 1956.
Hazairin, Hukum Kewarganegaraan Nasional, edisi ke-3, Jakarta :
Tintamas, 1982.
Lapidus, Ira M., a History of Muslim Societies, 4th edition, Cambridge
: Cambridge university Press, 1990.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i, Islam dan Masalah Kenegaraan : Studi
tentang Peratiran dalam Konstitusi, Jakarta : LP3ES, 1985.
Madjid, Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung
: Mizan, 1992.
Mas’udi, Masdar F., Agama Keadilan :Risalah Zakat (pajak) dalam
Islam, edisi ke-3, Jakarta : P3M, 1993.
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1990-1994, Jakarta
: LP3ES, 1984.
Pemerintah Negara Islam Indonesia, “Nota Rahasia”, (22 Oktober
1950/1 Muharram 1370), dikutip dalam Bolland, The
Struggle of Islam, Appendix II.
Rahardjo, M. Dawam, “Melihat ke Belakang, Merancang Masa
Depan; Pengantar”, dalam Islam di Indonesia Menatap Masa
Depan, ed., Muntaha Azhari dan Abdul Mu’im Saleh,
Jakarta : P3M, 1989.
Shiddieqy, Hasbi, “Pedoman Perjuangan Umat Islam Mengenai Soal
Kenegaraan”, dalam Buang Kongres Muslimin Indonesia,
20-25 Desember 1949, ed. P.P.K.M.I., Yogyakarta : Badan
Usaha dan Penerbitan Muslimin Indonesia, 1950.
Shiddieqy, Hasbi, Beberapa Permasalahan Hukum Islam, Jakarta :
Tintamas, 1975.
H. Kusdar, Dinamika Fiqh di Indonesia…. 131 Shiddieqy, Hasbi, Dinamika dan Elastisitas Hukum Islam, Jakarta :
Tintamas, 1975.
Shiddieqy, Hasbi, Fakta dan Keagungan Syari’at Islam, edisi ke-2,
Jakarta : Tintamas, 1982.
Shiddieqy, Hasbi, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta : Bulan
Bintang, 1975, h. 57. Idem, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta
: Bulan Bintang, 1970.
Shiddieqy, Hasbi, Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman,
Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga, 1961.
Shiddiqi, Nourouzzaman, “Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy dalam
Perspektif Pemikiran Islam di Indonesia”, disertasi doktor,
IAIN Sunan Kalijaga, 1987.
Shiddiqi, Nourouzzaman, “Muhammamad Hasbi Ash Shiddieqy
dalam Perspektif Pemikiran Ulama di Indonesia,” diseratsi
doktor, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1987.
Sjadzali, Munawir, “Reaktualisasi Ajaran Islam”, dalam Polemik
Reaktualisasi Ajaran Islam, ed., Iqbal Abdurrauf Sainima,
Jakarta : Pustaka Panjimas, 1980.
Tibi, Bassam, Islam and the Cultural Accommodation of Social
Change, terj. Clare Krojl, Boulder : Westview Press, 1990.
Vervey, Barbara Sillars, Pemberontakan Kahar Muzakkar dari
Tradisi ke DI/TII, Jakarta : Gratifipers, 1989.
Wahyudi, Yudian, Ushul Fiqh versus Hermeneutika, Yogyakarta :
Nawesea Press, 2006.
Ya’kub, Ismail, “Gerakan Pendidikan di Aceh sesudah Perang Aceh-
Belanda sampai sekarang”, dalam Bunga Rampai tentang
Aceh, ed., Ismail Suny, Jakarta : Brata Karya Aksara, 1980.
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com.
The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar