Jumat, 23 April 2010

Dawrah Fiqh Perempuan

Gerakan perempuan di manapun memiliki keunikan tersendiri. Tak terkecuali Indonesia. Salah satu keunikan itu adalah bertemunya kelompok perempuan tak berbasis agama dengan kelompok perempuan berbasis agama. Ini, seperti dikatakan Zainah Anwar, aktivis perempuan muslim dari Malaysia, telah menempatkan gerakan perempuan Islam di Indonesia pada posisi penting bahkan menjadi ’tolok ukur’ dalam diskursus Islam dan perempuan di dunia Islam.
Di Indonesia, isu perempuan menjadi memang isu penting dan masuk dalam wacana keislaman yang didiskusikan dalam institusi-institusi pendidikan Islam dari lembaga keagamaan formal seperti madrasah, STAIN, IAIN, UIN sampai lembaga keagamaan tradisional-informal seperti pesantren, majlis ta’lim dan kelompok pengajian. Dari institusi-institusi ini lahir para pejuang gerakan perempuan; sembari mereka menjadi aktivis organisasi-organisasi muslim di Indonesia. Pejuang gerakan perempuan bahkan juga lahir dari pesantren, sebuah institusi pendidikan Islam paling tua dan konvensional. Hal ini sulit ditemui di negara muslim lain, termasuk di Mesir yang menjadi lumbung intelektual muslim dunia.


Lebih jelasnya, pada saat ini wacana Islam dan pemberdayaan perempuan secara intensif disosialisasikan oleh institusi-institusi keislaman yang peduli pada pemberdayaan perempuan. Antara lain oleh Fatayat-Muslimat NU, Aisyiyah Muhammadiyah, Yayasan Rahima, PSW-PSW Perguruan Tinggi Islam, untuk menyebutkan beberapa. Kesemua institusi tersebut menggunakan pendekatan yang mirip: pemberdayaan perempuan dengan menggunakan argumentasi keagamaan.


Bila ditelusuri, kita bisa menemukan bahwa pendekatan ini berkembang di Indonesia menjelang konferensi kependudukan di Kairo tahun 1994. Pelopornya adalah Pusat Pemberdayaan Pesantren dan Masyarakat (P3M) melalui program Fiqh Annisa. Program ini dikembangkan di 6 kantong pesantren di Jawa dan Madura. Penggerak utamanya adalah Lies Marcoes Natsir dan Masdar F. Mas’udi.


Namun, sejauh ini sosialisasi atau pendidikan ’Islam dan pemberdayaan perempuan’ yang dilakukan institusi Islam lebih ditujukan kepada kalangan mereka sendiri. Atau tepatnya, bagi mereka yang memiliki latar belakang pendidikan Islam secara memadai. Antara lain komunitas pesantren, atau komunitas organisasi-organisasi Islam. Para partisipan kegiatan ini antara lain kyai/nyai dan tokoh masyarakat, kyai/nyai, guru dan ustadz pesantren, dosen-dosen perguruan tinggi Islam, aktivis organisasi Islam, para muballigh/muballighah atau penyelenggara negara urusan keagamaan seperti pegawai pencatatan nikah dan penyuluh di KUA.


Akibatnya, tidak semua aktivis perempuan akrab dengan pengetahuan dasar tentang Islam dan isu-isu perempuan. Padahal pada kenyataannya, hampir tidak mungkin membahas isu perempuan tanpa mengaitkan dengan persoalan keagamaan.


Untuk itulah, agar kesenjangan ini bisa diatasi, Fahmina-institute Cirebon mengawali inisiatif mengenalkan ’Islam perspektif perempuan’ kepada mereka yang tidak berlatar belakang pendidikan Islam. Wa bil khusush, kepada para aktivis perempuan yang memperjuangkan gerakan sosial keadilan gender.

Mengapa Aktivis Perempuan?


Islam di Indonesia memiliki kekuatan strategis. Pertama, penduduknya mayoritas Muslim dengan jumlah terbesar di dunia. Kedua, Islam diyakini banyak kalangan Muslim mampu menjadi alternatif jawaban atas segala persoalan masyarakat. Ketiga, Islam juga diyakini sebagai kesatuan sistem ajaran yang dapat membangun tatanan peradaban dunia yang manusiawi dan berkeadilan. Pendek kata, Islam, bagi banyak pihak, menjadi faktor penting yang harus dipertimbangkan untuk sebuah proses perubahan di Indonesia. Perubahan yang dimaksud tentu bukan saja perubahan pada tingkat politik struktural, melainkan yang lebih penting dan mendasar adalah perubahan sosial-kebudayaan, yang menyangkut paradigma, nilai, norma, dan ajaran-ajaran yang selama ini memandu alur pikir dan gerak masyarakat.
Dalam konteks ini, para aktivis perempuan yang kebetulan tidak berlatar belakang pendidikan Islam tampaknya seringkali mengalami kesulitan tatkala berhadapan dengan komunitas Muslim. Terlebih saat ini, ketika Islam sedang mengalami pasang naik. Situasi ini menuntut para aktivis untuk sedikit banyak mengenali isu-isu keislaman, terutama yang menyangkut isu perempuan dan keadilan gender. Di sinilah pentingnya pendidikan yang berorientasi pada penguatan wawasan keislaman bagi para aktivis perempuan. Hal demikian diharapkan menjadi bekal untuk menciptakan “bangunan pengetahuan dan tafsir keislaman” yang memihak pada keadilan gender. Di dalam pendidikan ini, diperkenalkan metode penelusuran terhadap fiqh (hukum Islam), sumber-sumber utama fiqh, pemikiran fiqh awal dan pemikiran fiqh terapan. Juga diperkenalkan metode pemaknaan yang adil gender dan pada tingkat tertentu dekonstruksi terhadap tafsir-tafsir dan pemahaman keislaman yang bias gender.

Apa itu Dawrah Fiqh Perempuan?


Fahmina-institute menamakan model pendidikan ini dengan istilah Dawrah Fiqh Perempuan. Sebagai pendidikan atau kursus Islam dan gender; dawrah ini ingin mengajak para partisipannya bisa membaca Islam dengan perspektif perempuan dan pada saat yang sama mengenalkan keadilan gender dengan perspektif bacaan Islam.


Dawrah secara literal berarti putaran, atau lingkaran. Dalam bahasa Arab, kata ini biasa digunakan untuk kegiatan belajar semacam kursus-kursus di luar model pendidikan sekolahan yang konvensional. Dalam dawrah ini, kita bisa mengenalkan model pendidikan, metode, teknik, cara, kurikulum dan para partisipan yang berbeda dari yang ada pada pendidikan model sekolahan. Dawrah Fiqh Perempuan, berarti kursus mengenai ajaran Islam dengan perspektif perempuan. Disebut fiqh, karena apa yang dikenal kebanyakan orang sebagai ajaran Islam, pada awalnya sebenarnya adalah merupakan fiqh, atau ijtihâd ulama dari sumber-sumber otoritatifnya. Fiqh yang dimaksud ini, termasuk juga tafsir terhadap ayat-ayat al-Qur’ân dan teks-teks hadits, serta ijtihâd dari gabungan antara teks-teks tersebut dengan tuntutan-tuntutan rasionalitas dan kontekstualitas.


Fiqh Perempuan sebenarnya bisa berarti tiga hal; pertama fiqh yang membahas isu-isu perempuan [fiqh tentang perempuan], kedua fikih yang membela dan menguatkan pemberdayaan perempuan [fiqh berperspektif perempuan] dan ketiga fiqh yang ditulis perempuan. Dalam Dawrah ini, Fiqh Perempuan lebih ditekankan pada makna yang kedua, yaitu fiqh yang berperspektif pemberdayaan perempuan. Namun begitu, modul ini tetap mengakomodasi makna yang pertama yaitu fiqh tentang isu perempuan, dan makna ketiga karena beberapa penulis modul ini juga perempuan. Dawrah Fiqh Perempuan bisa juga disebut sebagi Kursus Islam dan Gender.


Untuk menyebarkan manfaat dari Dawrah ini kepada masyarakat secara lebih luas, terutama para aktivis yang tidak sempat mengikuti kursus tersebut, maka diterbitkan modul Dawrah Fiqh Perempuan yang menjelaskan gagasan, metode, langkah-langkah, alat-alat bantu dan makalah-makalah yang mendukung penguatan wacana ‘Islam dan perspektif perempuan’. Modul ini bertujuan untuk memberikan panduan bagi mereka yang ingin menyelenggarakan kursus ‘Fiqh Perspektif Perempuan’ bagi para aktivis yang tidak berlatar belakang pendidikan Islam. Melalui modul ini, para partisipan Dawrah Fiqh Perempuan diharapkan dapat memahami prinsip dasar Islam yang adil gender, metodologi penafsiran untuk pemahaman keislaman yang adil gender. Lebih lanjut, mereka juga diharapkan memiliki keterampilan menggunakan metode tersebut untuk kepentingan aktivitas sehari-hari.


Modul Dawrah Fiqh Perempuan ini mencakup seluruh persoalan-persoalan teologis yang dihadapi gerakan perempuan, khususnya di Indonesia, yang didasarkan pada basis pengetahuan keagamaan pesantren. Digunakannya basis pengetahuan keagamaan pesantren, karena pesantren sampai saat ini masih menjadi rujukan strategis pengetahuan keagamaan masyarakat di Indonesia. Dengan model ini rancangan modul diklasifikasikan mengikuti basis pengetahuan pesantren. Mulai dari al-Qur’ân, hadits, fiqh, baru kemudian kondisi sosial politik di dunia Arab pada saat itu, dan pada saat ini, serta konteks politik di Indonesia sendiri dalam kaitannya dengan perkembangan wacana Islam dan gender.


Untuk tujuan tersebut, materi dalam modul ini disusun dalam tiga kerangka kurikulum. Pertama, yang terkait dengan prinsip dan sumber utama fiqh; yaitu mengenai konsep dasar Islam, penafsiran al-Qur’ân dan pemaknaan teks-teks hadits. Kedua, yang terkait dengan pemikiran-pemikiran fiqh awal; di dalamnya dijelaskan tentang relasi antara tradisi umat Islam awal dengan bangunan keislaman, fiqh sebagai disiplin keilmuan dan siklus kehidupan perempuan dalam ijtihâd ulama fiqh. Ketiga, materi yang terkait dengan pemikiran-pemikiran fiqh terapan di Indonesia. Di dalamnya dibahas mengenai sejarah kodifikasi hukum Islam di Indonesia, termasuk Hukum Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar