Jumat, 23 April 2010

PROBLEM EPISTEMOLOGI TEORI HUKUM ISLAM

PROBLEM EPISTEMOLOGI TEORI HUKUM ISLAM

Teori Hukum Islam, seperti tercermin dalam Usul Fiqh, tidaklah hanya terdiri dari penalaran dan argumen hukum, tetapi mencakup pula kajian tentang logika, teologi, teori linguistik, dan Epistemologi. Apabila teori hukum Barat mengarahkan kajiannya pada masalah-masalah hukum dan legitimasinya dalam suatu konteks sosial dan instusional, maka teori hukum Islam melihat masalah-masalah itu sebagi issu-issu Epistemologi. Artinya, para ulama Islam mendekati masalah tersebut dari segi hakekat dan kategori pengetahuan hukum.3
Fiqh didefenisikan oleh beberapa penulis modern sebagai kaidah-kaidah hukum yang terinci dalam berbagai cabangnya. Sedangkan Usul Fiqh berhubungan dengan metode yang diterapkan dalam deduksi hukum-hukum dari sumber-sumbernya. Ringkasnya, kalau Fiqh adalah hukum itu sendiri, maka Usul Fiqh adalah metodologi hukum.4 Dan oleh karena istilah Metodologi berkaitan erat dengan praktek epistemologi, yaitu cabang filsafat yang mencari penjelasan mengenai proses dan tahapan sehingga menghasilkan pengetahuan,5 maka jelaslah bahwa Usul Fiqh bisa pula disebut Epistemologi Hukum Islam.
1 Artikel Hukum, disusun untuk memenuhi himbauan Redaksi Suara Uldilag kepada para hakim, cakim, dan aparat peradilan agama di seluruh Indonesia. 2 Hakim Pengadilan Agama Natuna, kandidat Magister Hukum pada Program Pascasarjana (S2) Universitas Islam Riau. 3 Syamsul Anwar, Kerangka Epistemologi Hukum Islam, makalah tidak diterbitkan, hal. 1. 4 Mohammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, alih bahasa Noorhadi, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1996), hal.2. 5 Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, (Yogyakarta: SIPRESS, 1994), hal. 53.
www.badilag.net [PROBLEM EPISTEMOLOGI TEORI HUKUM ISLAM]
Dalam perspektif ahli-ahli hukum Islam, hukum tidak dibuat, melainkan ditemukan. Inilah yang dikatakan para ulama bahwa fungsi mujtahid itu bukan sebagai Musbit (menetapkan hukum), akan tetapi sebagai Muzhir (mengeluarkan, menyatakan hukum). Hukum bersifat meta-insani dan berada secara obyektif di “luar sana”. Locus hukum itu adalah pada Tuhan. Kegiatan ilmu hukum, karena itu, merupakan upaya untuk mengethaui dan mengenal hukum yang meta-insani itu melalui tanda-tanda hukum („alamah, amarah, dalil) yang diberikan oleh sang Pembuat Hukum (Syari‟), kemudian menghadirkannya ke “sini” untuk menjadi acuan penilaian perbuatan manusia sebagai subyek hukum. Dari sinilah epistemologi hukum Islam itu bermula. Pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkannya seperti : apakah yang dapat kita ketahui sebagai hukum Syari‟ ? , Bagaimana caranya kita dapat mengetahui hukum itu?. Sejauh mana kepastian kita tentangnya?. Jawaban terhadap pertanyaan epistemologis itu berkaitan erat dengan metode istimbat hukum yang diikuti oleh berbagai aliran Fiqh.6 II Hukum dalam konsepsi ahli-ahli Usul Fiqh pada hakekatnya adalah sapaan ilahi. Dalam al-Quran, misalnya, Tuhan menyapa, “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah perjanjian-perjanjian” (Q.S. ), atau “Janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang pernah dinikahi oleh ayahmu…” (Q.S. 4:22). Sapaan itulah yag diartikan sebagai hukum. Secara demikian, sapaan itu dalam garis besarnya berisi tiga hal : Tuntutan, Izin, dan Penetapan.
6 Syamsul Anwar, Ibid., hal. 2.
www.badilag.net [PROBLEM EPISTEMOLOGI TEORI HUKUM ISLAM]
Tuntutan meliputi tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan secara memaksa, maupun tuntutan tidak memaksa. Izin adalah perkenan oleh Pembuat hukum kepada manusia untuk melakukan suatu perbuatan. Penetapan adalah penetapan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi yang lain, seperti penetapan akad jual beli sebagai sebab berpindahnya hak milik barang yang dijual kepada pembeli, kehadiran dua orang saksi sebagai syarat keabsahan nikah, dan tindakan membunuh muwaris sebagai penghalang dari memperoleh hak warisannya.
Sapaan ilahi itu ditujukan kepada atau menyangkut perbuatan manusia. Inilah yang dikatakan oleh para ulama dalam defenisi meraka terhadap hukum syar‟i bahwa hukum itu adalah khitab (sapaan) Allah menyangkut perbuatan oang-orang mukallaf yang berisi tuntutan, izin, atau penetapan.7 Karena itulah keseluruhan hukum itu terdiri atas kategori-kategori efis-religius, yaitu wajib, nadb, haram, makruh, dan mubah yang disebut hukum taklifi, serta kategori-kategori sebab, syarat, penghalang, sah, batal, fasid yang disebut hukum wad‟i. Maka hukum syar‟i itu dalam konsepsi ulama-ulama Usul Fiqh tidak lain daripada penilaian Pembuat hukum (Allah) terhadap perbuatan mukalllaf (manusia subyek hukum) menurut kategori-kategori efis-religius itu. III
Muatan lain dalam konsepsi ulama-ulama Usul Fiqh tentang hukum syar‟i menurut aliran teologi yang dominan adalah pengertian bahwa huum syar‟i itu qadim, yaitu sudah ada sejak zaman azali. Beberapa ahli Usul Fiqh bahkan
7 Ibid., hal. 5.
www.badilag.net [PROBLEM EPISTEMOLOGI TEORI HUKUM ISLAM]
mengekspilistkan pengertian ini dalam defenisi hukum yang mereka kemukakan, seperti Al-Qarafi (w. 684 H.) yang menyatakan, “Hukum syar‟i adalah sapaan Ilahi yang qadim yang berkaitan dengan perbuatan para mukallaf dengan berisikan tuntutan dan perkenan”. Juga Ar-Razi (w. 606 H.) dalam karya Usulnya menyatakan bahwa meskipun obyek hukum itu, yaitu perbuatan manusia, adalah baharu, namun hukum syar‟i itu sendiri adalah qadim, karena hukum itu adalah firman Allah dan firman itu qadim.
Teologi yang dominan di kalangan umat Islam memang mengajarkan bahwa kalam ilahi itu adalah qadim. Konsekuensinya, hukum yang merupakan salah satu muatan yang terkandung dalam kalam ilahi itu juga qadim. Ini berarti bahwa hukum itu telah ada sebelum adanya makhluk manusia yang mempersepsikan dan memahaminya. Ahli-ahli hukum Islam modern menjelaskan ini dalam bahasa kontemporer : “Hukum ilahi itu mendahului, dan tidak didahului oleh masyarakat”. Jadi hukum tidak diciptakan dan dikembangkan oleh masyarakat, akan tetapi ditemukan dan dikenali serta dimanifestasikan secara aktual dalam kenyataan.
Tentang medium pengenalan hukum qadim itu teologi ortodoks memberikan pandangannya yang amat menentukan dalam teori hukum Sunni. Melalui apa yang disebut oleh sementara penulis sebagai teori subyektifisme teistik diajarkan bahwa baik dan buruk yang merupakan inti hukum hanya diketahui melalui wahyu Tuhan. Tanpa wahyu tidak ada yang baik dan buruk.Baiknya suatu perbuatan adalah karena adanya perintah Tuhan supaya mengerjakannya, dan buruknya suatu perbuatan adalah karena dilarang oleh
www.badilag.net [PROBLEM EPISTEMOLOGI TEORI HUKUM ISLAM]
Tuhan. Jadi perintah dan larangan Tuhan lah yang menentukan baik atau buruknya sesuatu. Konsekuensi teori ini dalam masalah hukum adalah bahwa tidak ada hukum tanpa Khitab Tuhan dan karena itu tidak mungkin mengenali hukum di luar medium wahyu. Akal natural manusia tidak dapat mengenali hukum tanpa wahyu. Alasan pandangan ini adalah bahwa hukum perlu dipertahankan obyektifitas dan kepastiannya, serta harus dibebaskan dari spekulasi subyektif manusia yang membawa kepada ketidakpastian. Apa yang difikirkan sebagai baik oleh sementara orang mungkin akan dianggap sebaliknya oleh orang lain. Bahkan akal orang yang sama bisa jadi menilai sesuatu sebagai baik pada suatu waktu, dan buruk pada waktu yang lain, karena adanya pengaruh-pengaruh keinginan pribadi, atau tujuan-tujuan.
Wahyu ilahi yang menjadi medium pengenalan hukum itu dibakukan dalam kata-kata (lafaz, teks-teks, nass) yang didengar dari Nabi. Lafal-lafal tersebut dinamakan dalil yang menunjukkan kepada hukum. Karena pentingnya lafal sebagai instrumen melalui mana wahyu yang mengandung hukum dibakukan, maka teori hukum Islam (Usul Fiqh) sebagian besarnya terfokus pada teks. Barangkali tidak terlalu berlebihan bila dikatakan bahwa ilmu hukum Islam itu adalah ilmu interpretasi teks-teks yang di dalamnya wahyu Tuhan berisi hukum itu dibakukan. Itulah mengapa teori linguistik dalam Usul Fiqh dimulai dengan Al-Mabahis al-Lafziyyah (Pembahasan tentang Teks/lafal).
Aliran lainnya dalam sejarah Hukum Islam adalah aliran Rasionalistik Obyektifisme. Aliran ini tidak mengakui konsep hukum yang qadim dan wahyu sebagai satu-satunya medium untuk mengenali hukum. Hukum dapat dikenali
www.badilag.net [PROBLEM EPISTEMOLOGI TEORI HUKUM ISLAM]
juga melalui penggunaan kemampuan penalaran rasional manusia. Hukum adalah bagian dari susunan alam yang bersifat teratur. Karena itu dapat dikenali oleh manusia tanpa bantuan wahyu. Fungsi wahyu adalah sebagai konfirmasi. Analisis hukum, karena itu bukan analisis teks-teks, tetapi analisis terhadap realitas alam yang diciptakan oleh Tuhan. Bertitik tolak pada prinsip keadilan Tuhan, golongan ini menyatakan bahwa demi keadilan-Nya, Tuhan tidak menghendaki yang buruk, karena itu Dia tidak akan memerintahkan suatu yang mengandung mudarat. Sebaliknya, Tuhan menghendaki yang baik, karena itu Dia memerintahkan sesuatu yang mengandung maslahat. Kemaslahatan dan kemudaratan yang diketahui melalui analisis langsung terhadap realitas adalah patokan utama hukum dan dari situlah ilmu hukum bermula. Kelemahan aliran ini adalah bahwa dalam kenyataan, teori mereka itu mandul. Artinya, meskipun mereka berhasil membentuk suatu ilmu hukum yang berlandaskan analisis terhadap realitas, namun teori itu tidak berhasil melahirkan suatu sistem hukum tersendiri yang independen. Secara praktis, mereka tidak mempunyai Fiqh sendiri, mereka hanya menjadi penganut salah satu mazhab hukum yang ada, seperti mazhab Asy-Syafi‟i atau Hanafi.
Muhammad „Abduh dan Rasyid rida berpendapat bahwa Tuhan memerintahkan segala yang baik dan melarang segala yang buruk melalui firman-Nya “Dan perintahkanlah manusia untuk berbuat baik dan cegahlah mereka dari berbuat buruk”. Akan tetapi apa yang baik dan apa yang buruk itu tidak diperinci
www.badilag.net [PROBLEM EPISTEMOLOGI TEORI HUKUM ISLAM]
keterangannya dalam Syara‟. Oleh karena itu pemahamannya diserahkan kepada akal sehat manusia. Ia cukup menghindari apa yang menurutnya buruk.8
Beberapa ulama yang dari segi teologi mendukung teori subyektifisme teistik melihat perlunya penyeimbangan antara analisis teks dan analisis realitas masyarakat dalam penalaran dan argumentasi hukum. Asy-Syatibi misalnya, menjelaskan bahwa ijtihad hukum bergerak dalam dua arah ke titik yang sama. Arah pertama merupakan analisis tekstual untuk menemukan inti dan illat hukum. Arah kedua melakukan analisis terhadap kasus untuk menemukan inti permasalahan yang sebenarnya.9
Asy-Syatibi juga menyarankan apa yang sekarang kita sebut pendekatan sosio historis, yaitu mempelajari konteks sosial dan sejarah yang melatarbelakangi lahirnya teks. Ia mengatakan bahwa suatu teks yang berasal dari suatu sumber sejarah (al-kalam al-mankul) dilafazkan secara tercabut dari konteksnya, sehingga pemahaman teks itu semata-mata berdasarkan teks itu sendiri bisa menyesatkan. Karena itu, analisis historis terhadap konteks yang melahirkannya mutlak diperlukan.10
Jadi, garis besar metode ijtihad yang perlu dikembangkan yaitu pola penalaran dan argumentasi hukum yang bergerak dalam dua level. Pertama, analisis teks dengan pendekatan integral dan sosio historis untuk menemukan cita hukum syar‟i yang ideal. Kedua, melakukan analisis terhadap realitas kekinian masyarakat kita untuk menemukan persoalan sebenarnya. Masing-masing level
8 Muhammad Abduh dan Rasyid Rida, Tafsir Al-Manar, (Mesir: Maktabah Al-Qahirah, t.t. ) Jilid II, hal 196, dan Jilid V hal. 41. 9 Abu Ishaq Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul Al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.) Jilid IV, hal. 47-49. 10 Ibid.
www.badilag.net [PROBLEM EPISTEMOLOGI TEORI HUKUM ISLAM]
analisis itu mungkin akan memperlihatkan adanya jarak tertentu antara hukum ideal sebagai tertuang dalam teks dengan kenyataan masyarakat dan perkembangan sosial, atau tidak. Jika memang terdapat jarak yang begitu jauh, maka dilakukan usaha pendekatan antara keduanya dengan menyesuaikan hukum ideal tadi sampai batas tertentu dengan perkembangan masyarakat dan sebaliknya melakukan social engineering terhadap masyarakat sesuai dengan tuntutan yang dikehendaki oleh hukum syar‟i itu. Contoh paling populer adalah ijtihad cemerlang dalam kasus wasiat wajibah. Menurut Muhammad Siraj, analisis teks hukum syar‟i menghasilkan kesimpulan hukum bahwa cucu yang ayahnya telah meninggal lebih dahulu dari kakeknya, dalam keadaan tertentu tidak mendapat hak warisan dari sang kakek. Akan tetapi kesadaran masyarakat dalam kenyataannya menuntut sang cucu agar diberi warisan. Pemecahannya adalah dengan wasiat wajibah. III Nash (teks) sebagai satu-satunya medium melalui mana hukum dapat dikenali, permasalahannya adalah bahwa teks-teks itu terbatas sementara persoalan hukum berkembang terus menerus sehingga teks itu harus diperluas cakupannya agar dapat menampung perkembangan baru. Pertanyaannya adalah sejauh mana perluasan itu dapat dilakukan sehingga hukum hasil perluasan itu masih tetap dapat disebut hukum Syar‟i ??
Para ahli hukum Islam membedakan hukum itu menjadi tiga lapisan, yaitu hukum nass, hukum qiyas, dan hukum maslahah.11 Hukum Nass adalah hukum
11 Syamsul Anwar, Kerangka Epistemologi…, Op.cit., hal.9.
www.badilag.net [PROBLEM EPISTEMOLOGI TEORI HUKUM ISLAM]
yang langsung berdasarkan nass individual tertentu. Sedangkan hukum Qiyas adalah hukum hasil perluasan terhadap nass dengan cara memasukkan kasus yang tidak ada nass individualnya. Alasan pembenar dari perluasan dan pemasukan kasus tanpa nass ke dalam kasus nass itu adalah adanya nilai kesamaan antara keduanya yang tercermin dalam illat. Jadi hukum Qiyas dasar sesungguhnya adalah nass individual juga. Sedangkan Hukum Maslahah merupakan perluasan lebih jauh dari nass, namun dasarnya bukanlah nass individual, melainkan nass kolektif, yaitu kumpulan sejumlah nass yang dari padanya disimpulkan prinsip umum Syari‟ah. Prinsip umum (Al-Asl al-Kulli) itulah yang menjadi dasar hukum Maslahah. Legitimasinya sebagai hukum syar‟i disini adalah unsur Mula‟amah (Munasabah), yaitu kesesuaian dengan dan termasuknya kedalam lingkaran prinsip umum syari‟ah.12
Di luar ketiga lapis hukum itu, menurut teori hukum Sunni, tidak ada lagi hukum syar‟i mengingat prinsip tiada hukum syar‟i tanpa Khitab (sapaan ilahi). Tetapi At-Tufi dan Mu‟tazilah berpendapat bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan penalaran rasional murni, selama mengandung maslahat, adalah juga hukum syar‟i mengingat prinsip mereka bahwa hukum dapat dikenali oleh akal. Bagi ahli-ahli hukum Sunni ortodoks, karena keyakinan bahwa wahyu Tuhan adalah serba cukup, maka bila ada suatu kasus, selalu diusahakan mencari nassnya betapapun kaitan nass itu dengan kasus tersebut amat jauh. Justeru disinilah
12 Ibid.
www.badilag.net [PROBLEM EPISTEMOLOGI TEORI HUKUM ISLAM]
kadang-kadang terbuka pintu yang bisa mendorong ke arah menjadikan nass-nass sebagai legitimasi.13 Wallahu a‟lam. Daftar Pustaka „Abduh, Muhammad. Tafsir Al-Manar, Mesir: Maktabah Al-Qahirah, t.t. Anwar, Syamsul. Kerangka Epistemologi Hukum Islam, makalah tidak diterbitkan. Asy-Syatibi, Abu Ishaq. Al-Muwafaqat fi Usul Al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, t.t. Kamali, Mohammad Hashim. Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, alih bahasa Noorhadi, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1996. Mulkhan, Abdul Munir. Paradigma Intelektual Muslim, Yogyakarta: SIPRESS, 1994. Muslehuddin, Muhammad. “Hukum Islam dan Perubahan Sosial”, dalam Yudian W. Asmin (ed.), Ke arah Fiqh Indonesia, Yogyakarta: Forum Studi Hukum Islam Fak. Syari‟ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1994.
13 Muhammad Muslehuddin, “Hukum islam dan Perubahan Sosial”, dalam Yudian W. Asmin (ed.), Ke arah Fiqh Indonesia, (Yogyakarta: Forum Studi Hukum Islam Fak. Syari‟ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1994), hal. 119.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar