Sabtu, 14 Mei 2011

Hak Pengasuhan Anak Dalam Islam


Hak Pengasuhan Anak Dalam Islam, Demi Kebaikan Anak, Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Pembicaraan mengenai seluk-beluk hak asuh, biasa dikenal dalam perspektif ilmu fiqih dg istilah ahkam al hadhonah. Islam telah mengatur sedemikian rupa, utk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yg timbul akibat persengketaan dalam masalah ini. Pertikaian yg berawal dari perebutan anak, dapat berpotensi menimbulkan terputusnya silaturahmi & berdampak psikologi pd diri anak.

Makalah berikut mencoba mengangkat secara ringkas permasalahan tersebut. Kami nukil dari kitab Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, al Mulakhkhashul Fiqhi, Cetakan I, Tahun 1423H, Darul 'Ashimah, juz 2/439-447. Semoga bermanfaat.

HIKMAH KETETAPAN HUKUM HAK ASUH
Sudah pasti, hukum Allah berdampak positif, karena penuh keadilan, kebaikan, rahmat & hikmah di dalamnya. Begitu juga dalam masalah pengasuhan anak. Sebagai contoh, anak yg masih kecil & belum mengetahui kemaslahatan-kemaslahatan bagi dirinya. Atau seorang yg gila & cacat, mereka ini membutuhkan keberadaan orang lain utk membantu menangani urusan-urusannya & memberikan pemeliharaan bagi dirinya. Yaitu dg mencurahkan kebaikan-kebaikan & menghindarkannya dari bahaya-bahaya, serta mendidiknya dg pendidikan yg terbaik.

Syari'at Islam memberlakukan hak asuh ini, utk mengasihi, memelihara & memberikan kebaikan bagi mereka. Pasalnya, bila mereka dibiarkan tanpa penanggung jawab, niscaya akan terabaikan, terbengkalai & terancam bahaya. Padahal dinul Islam mengajarkan kasih-sayang, gotong-royong & solidaritas. Sehingga benar-benar melarang dari perbuatan yg bersifat menyia-nyiakan kepada orang lain secara umum, apalagi mereka yg dalam keadaan nestapa. Ini merupakan kewajiban orang-orang yg masih terikat oleh tali kekerabatan dg si anak. Dan kewajiban mereka adalah, mengurusi tanggung jawab anggota keluarga besarnya, sebagaimana dalam hukum-hukum lainnya.

IBU ADALAH PIHAK YANG PALING BERHAK
Ibu, adalah yg paling berhak menggenggam hak asuh anak dibandingkan pihak-pihak lainnya. Al Imam Muwaffaquddin Ibnu Qudamah mengatakan, jika suami isteri mengalami perceraian dg meninggalkan seorang anak (anak yg masih kecil / anak cacat), maka ibunyalah yg paling berhak menerima hak hadhonah (mengasuh) daripada orang lain. Kami tdk mengetahui adanya seorang ulama yg berbeda pendapat dalam masalah ini.

Diutamakan ibu dalam mengasuh anak, lantaran ia orang yg paling terlihat sayang & paling dekat dengannya. Tidak ada yg menyamai kedekatan dg si anak selain bapaknya. Adapun tentang kasih-sayang, tdk ada seorang pun yg mempunyai tingkatan seperti ibunya. Suami (ayahnya) tdk boleh mencoba menanganinya sendiri, akan tetapi perlu menyerahkannya kepada ibunya (isterinya). Begitu pula ibu kandung sang isteri, ia lebih berhak dibandingkan isteri ayahnya (suaminya).

Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhu membuat satu ungkapan yg indah:

"Aromanya, kasurnya & pangkuannya lebih baik daripada engkau, sampai ia menginjak remaja & telah memilih keputusannya sendiri (untuk mengikuti ayah / ibunya)".

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mempunyai alasan, mengapa ibu lebih berhak dalam mengasuh anaknya, dikarenakan ibu lebih baik daripada ayah si anak. Sebab, jalinan ikatan dg si anak sangat kuat & lebih mengetahui kebutuhan makanan bagi anak, cara menggendong, menidurkan & mengasuh. Dia lebih pengalaman & lebih sayang. Dalam konteks ini, ia lebih mampu, lebih tahu & lebih tahan mental. Sehingga dialah orang yg mesti mengasuh seorang anak yg belum memasuki usia tamyiz berdasarkan syari'at.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, bahwasanya ada seorang wanita pernah mendatangi Rasulullah mengadukan masalahnya. Wanita itu berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي

"Wahai Rasulullah. Anakku ini dahulu, akulah yg mengandungnya. Akulah yg menyusui & memangkunya. Dan sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku & ingin mengambilnya dariku".

Mendengar pengaduan wanita itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun menjawab:

أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي

"Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah".

Hadits ini menunjukkan, bahwa seorang ibu paling berhak mengasuh anaknya ketika ia diceraikan oleh suaminya (ayah si anak) & menginginkan merebut hak asuhnya.

UNSUR-UNSUR YANG DAPAT MENGHALANGI HAK ASUH ANAK
Meskipun pengasuhan anak merupakan hak seorang ibu, namun terkadang ia tdk bisa mendapatkan hak pengasuhan ini. Ada beberapa faktor yg dapat menghalangi haknya. Di antaranya sebagai berikut.

Pertama. Ar-Riqqu.
Maksudnya, orang yg bersangkutan berstatus sebagai budak, walaupun masih "tersisa sedikit". Karena hadhonah (mengasuh) merupakan salah satu jenis wilayah (tanggung jawab). Adapun seorang budak, ia tdk mempunyai hak wilayah. Karena ia akan disibukkan dg pelayanan terhadap majikannya & segala yg ia lakukan terbatasi hak tuannya.

Kedua. Orang Fasiq.
Orang seperti ini, ia mengerjakan maksiat sehingga keluar dari ketaatan kepada Allah. Itu berarti, ia tdk bisa dipercaya mengemban tanggung jawab pengasuhan. Sehingga, hak asuh anak terlepas darinya. Keberadaan anak bersamanya -sedikit / banyak- ia akan mendidik anak sesuai dg kebiasaan buruknya. Ini dikhawatirkan akan berpengaruh negatif bagi anak, yg tentunya berdampak pd pendidikan anak.

Ketiga. Orang Kafir.
Orang kafir tdk boleh diserahi hak mengasuh anak yg beragama Islam. Kondisinya lebih buruk dari orang fasik. Bahaya yg muncul darinya lebih besar. Tidak menutup kemungkinan, ia memperdaya si anak & mengeluarkannya dari Islam melalui penanaman keyakinan agama kufurnya.

Keempat. Seorang Wanita Yang Telah Menikah Lagi Dengan Lelaki Lain.
Dalam masalah pengasuhan anak, ibulah yg lebih memiliki hak yg utama. Akan tetapi, hak ini, secara otomatis gugur, bila ia menikah lagi dg laki-laki ajnabi (laki-laki lain). Maksudnya, lelaki yg bukan dari kalangan 'ashabah (pewaris) anak yg diasuhnya. Tetapi, jika sang ibu menikah dg seorang laki-laki yg masih memiliki hubungan tali kekerabatan dg si anak, maka hak asuh ibu tdk hilang.

Atau misalnya, seorang wanita yg telah diceraikan suaminya, & kemudian ia menikah dg lelaki lain (ajnabi), maka dalam keadaan seperti ini, ia tdk memperoleh hak asuh anak dari suaminya yg pertama. Dengan demikian hak pengasuhannya menjadi gugur, berdasarkan kandungan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي

"Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah".

Demikian beberapa faktor yg dapat menghalangi seseorang tdk memperoleh hak asuh bagi anaknya. Apabila faktor-faktor penghalang ini lenyap, misalnya seorang budak telah merdeka seutuhnya, orang fasik itu bertaubat, orang kafir telah memeluk Islam, & si ibu diceraikan kembali, maka orang-orang ini akan memperoleh haknya kembali utk mengasuh anaknya.

KAPAN ANAK MENENTUKAN PILIHAN?
Pada usia yg telah ditentukan syari'at, anak berhak menentukan pilihan utk hidup bersama dg ibu / ayahnya. Dalam hal ini harus terpenuhi dua syarat.

Pertama: Ayah & ibunya harus layak mendapatkan tanggung jawab mengasuh anaknya (ahlil hadhonah). Artinya, salah satu faktor yg menghalangi seseorang boleh pengasuh anaknya tdk boleh melekat padanya.

Kedua: Si anak sudah 'aqil (berakal). Jika ia mempunyai cacat, maka ia tetap berada di bawah pengawasan ibunya. Pasalnya, karena wanita lebih sayang, lebih bertanggung jawab, & lebih mengetahui kebutuhan-kebutuhan anak.

PERBEDAAN ANTARA ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
Seorang anak laki-laki, ia dihadapkan pd pilihan utk menentukan. Yaitu, ia hidup bersama ayahnya / ibunya, apabila ia sudah berusia tujuh tahun. Ketika telah berusia tujuh tahun, berakal, maka ia memutuskan pilihannya, & kemudian tinggal bersama dg orang pilihannya, ayah / ibunya. Demikian ini keputusan yg telah diambil oleh Khalifah 'Umar & 'Ali.

Dasarnya ada seorang wanita yg mendatangi Rasulullah. Ia mengadu, "Suamiku ingin membawa pergi anakku," maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada bocah itu, anaknya: "Wahai anak kecil. Ini adalah ayahmu, & itu ibumu. Pilihlah siapa yg engkau inginkan!" Anak itu kemudian menggandeng tangan ibunya, & kemudian mereka berdua berlalu.

Apabila anak memilik ayahnya, maka ia berada di tempat tinggal sang ayah siang & malam. Supaya ayahnya leluasa menjaga, mengajari & mendidiknya. Akan tetapi, tdk boleh menghalangi keinginan anak utk menjenguk ibunya. Sebab menghalanginya, berarti menumbuhkan sikap durhaka kepada ibunya & menyebabkan terputusnya tali silaturahmi.

Jika ia memilih ibunya, maka si anak bersama ibunya saat malam hari. Sedangkan siang hari, ia berada bersama ayahnya, utk menerima pendidikan & pembinaan.

Akan tetapi, jika si anak diam, tdk menentukan keputusan dalam masalah ini, maka ditempuhlah undian. Ini berarti kedua orang tuanya tersebut tdk ada pihak yg sangat istimewa dalam pandangan anak, sehingga diputuskan dg qur`ah (undian).

Keterangan di atas berlaku pd anak lelaki. Bagaimana jika anak tersebut perempuan?

Anak perempuan, saat ia berusia tujuh tahun, hak pengasuhannya beralih ke ayahnya, sampai ia menikah. Pasalnya, sang ayah akan lebih baik pemeliharaan & penjagaan terhadapnya. Selain itu, seorang ayah lebih berhak menerima wilayah (tanggung jawab) anak perempuan. Namun, bukan berarti ibunya tdk boleh menjenguknya. Sang ayah bahkan dilarang menghalang-halangi ibu sang anak yg ingin menengoknya itu, kecuali jika menimbul hal-hal yg tdk baik / perbuatan haram.

Seandainya, ternyata ayah tdk mampu menangani pemeliharaan putrinya, / tdk peduli dg masalah itu, lantaran kesibukan / kedangkalan agamanya, maka sang ibu berhak mengambil alih, & sang anak perempuan ini hidup bersama ibunya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: Imam Ahmad & para muridnya memandang diutamakannya ayah (untuk mengasuh putrinya yg sudah berusia tujuh tahun), bila tdk menimbulkan bahaya (masalah) kepada putrinya. Bila diperkirakan sang ayah tdk mampu menjaga & melindunginya, (dan justru mengabaikannya lantaran kesibukan, maka ibunyalah yg (berhak) menangani penjagaan & perlindungan baginya. Dalam kondisi seperti ini, sang ibu lebih diutamakan. Munculnya unsur kerusakan pd anak perempuan yg ditimbulkan oleh salah seorang dari orang tuanya, maka tdk diragukan lagi, pihak lain (yang tdk menimbulkan masalah bagi anak perempuannya itu), lebih berhak menanganinya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga menambahkan, bila diperkirakan bapaknya menikah lagi & menitipkan putrinya di pangkuan ibu tirinya itu yg enggan menangani kemasalahatannya, bahkan (ibu tirinya itu) menyakiti & mengabaikan kebaikan bagi diri (putrid)nya, sedangkan ibunya (sendiri) bisa memberikan maslahat baginya, tidakmenyakitinya, maka dalam keadaan seperti ini, secara pasti hak hadhonah menjadi milik ibu.

SOLUSI JIKA TERJADI POLEMIK ANTARA ISTERI DAN MANTAN SUAMI BERKAITAN DENGAN PENGASUHAN ANAK
Tak dipungkiri, terkadang pengasuhan anak ini juga menimbulkan problema yg disebabkan persoalan yg kadang muncul.

Sebagai contoh, bila salah seorang dari suami / isteri ingin bepergian jauh & tinggal sementara di tempat yg dituju, tanpa ada maksud buruk, situasinya aman, maka dalam keadaan seperti ini, hak hadhonah menjadi milik ayah, baik ayah bepergian ataupun tidak. Ayahlah yg mesti mengurusi pendidikan & pemeliharaannya. Karena, bila si anak berada jauh dari ayah, sehingga menyebabkan ayahnya tdk bisa melaksanakan tugasnya, akan berakibat si anak tdk terurus.

Jika bepergian tersebut tdk jauh, masih berada dalam jarak qoshor sholat, & berencana tinggal di sana, maka hak asuh ini menjadi milik ibu si anak. Sebab, ibu lebih sempurna kasih sayangnya kepada anak. Dan lagi, dalam keadaan seperti ini, si ayah masih sangat mungkin bisa melihat keadaan anaknya.

Adapun, jika bepergian itu utk suatu tujuan, kemudian langsung kembali, / rute perjalanan maupun kondisi negeri yg dituju mengkhawatirkan, maka hak hadhonah beralih kepada pihak yg tdk bepergian. Sebab, bepergian dalam keadaan seperti itu, akan menimbulkan mara bahaya baginya.

Ibnul Qayyim menyatakan: "Kalau menginginkan kekisruhan masalah / merekayasa utk menggugurkan hak asuh ibu, kemudian si ayah bapak melakukan perjalanan yg diikuti oleh anaknya, (maka) ini merupakan hilah (rekayasa) yg bertentangan dg tujuan yg dimaksudkan syari'at. Sesungguhnya syari'at menetapkan, ibu lebih berhak dg hak asuh anak daripada bapak jika kondisi tempat tinggal berdekatan, sehingga dimungkinkan utk menengok setiap waktu".

Demikian kaidah-kaidah ringkas mengenai hak asuh anak. Bahwa Islam sangat menjaga & memelihara ikatan keluarga, meskipun antara suami & isteri, / antara ayah & ibu si anak tersebut melakukan perceraian, yg tentu saja akan memengaruhi psikologis anak itu sendiri. Solusi Islam ini sangat berbeda dg yg ditawarkan hukum publik. Begitu juga sangat berbeda dg yg dikembangkan masyarakat Barat. Di kalangan Barat, jika terjadi persengketaan antara suami isteri, perebutan anak asuh pasti terjadi & penyelesaiannya pun berlarut-larut. Bahkan bisa jadi memutuskan tali kekerabatan di antara mereka. Oleh karena itu, tak ada pilihan lain utk menjaga keutuhan komunitas, kecuali dg Islam. Wallahu a'lam. (Mas)

(Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII/1429H/2008. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016)
__ Footnotes
. Majmu' al Fatawa (17/216-218).
. HR Ahmad (2/182), Abu Dawud (2276) & al Hakim (2/247). Syaikh al Albani menilainya sebagai hadits hasan.
. HR Abu Dawud (2277), at-Tirmidzi (1361), an-Nasa-i (3496), Ibnu Majah (2351).
. Fatawa Syaikhil-Islam (34/131).
. Fatawa Syaikhil-Islam (34/132).
. I'lamul-Muwaqqi'in (2/295).
Penulis: Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan & diterbitkan oleh almanhaj.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar