Senin, 28 Juni 2010

Problematika penerapan asas pembuktian terbalik untuk Korupsi




Upaya KPK untuk mempercepat pemberantasan korupsi adalah dengan mengusulkan asas pembuktian terbalik. mulai ari tahun 2004 KPK pernah mengusulkan hal ini. Akan tetapi sampai detik ini ususlan-usulan tersebut hanya isapan jempol semata. Banyak hambatan-hambatan yang harus dilalui, yang dimana hal tersebut perlu kita pahami bersama, hal tersebut adalah : Pertama, Hukum Acara Pidana digunakan dalam proses kejahatan korupsi, khususnya dalam hal pembuktian adalah UU no 8 Tahun 1981, Undang-undang tersebut tidak mengenal asas pembuktian terbalik. Kedua, Asas ini sangat menusuk Hak Asasi Manusia apabila dikaitkan dengan asas “Presumption Of Innocence” atau asas praduga tak bersalah. Ketiga, Pembuktian terbalik sebenarnya telah disebutkan di dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan dalam Pasal 37 tersebut merupakan suatu penyimpangan dari Pasal 66 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan bahwa “tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Juga merupakan penyimpangan dari Pasal 14 Ayat (3) huruf g Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), yang menyebutkan :“Dalam penentuan tuduhan pelanggaran pidana terhadapnya, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian terhadap diri sendiri atau mengaku bersalah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar