Jumat, 23 April 2010

PROBLEM EPISTEMOLOGI TEORI HUKUM ISLAM

PROBLEM EPISTEMOLOGI TEORI HUKUM ISLAM

Teori Hukum Islam, seperti tercermin dalam Usul Fiqh, tidaklah hanya terdiri dari penalaran dan argumen hukum, tetapi mencakup pula kajian tentang logika, teologi, teori linguistik, dan Epistemologi. Apabila teori hukum Barat mengarahkan kajiannya pada masalah-masalah hukum dan legitimasinya dalam suatu konteks sosial dan instusional, maka teori hukum Islam melihat masalah-masalah itu sebagi issu-issu Epistemologi. Artinya, para ulama Islam mendekati masalah tersebut dari segi hakekat dan kategori pengetahuan hukum.3
Fiqh didefenisikan oleh beberapa penulis modern sebagai kaidah-kaidah hukum yang terinci dalam berbagai cabangnya. Sedangkan Usul Fiqh berhubungan dengan metode yang diterapkan dalam deduksi hukum-hukum dari sumber-sumbernya. Ringkasnya, kalau Fiqh adalah hukum itu sendiri, maka Usul Fiqh adalah metodologi hukum.4 Dan oleh karena istilah Metodologi berkaitan erat dengan praktek epistemologi, yaitu cabang filsafat yang mencari penjelasan mengenai proses dan tahapan sehingga menghasilkan pengetahuan,5 maka jelaslah bahwa Usul Fiqh bisa pula disebut Epistemologi Hukum Islam.
1 Artikel Hukum, disusun untuk memenuhi himbauan Redaksi Suara Uldilag kepada para hakim, cakim, dan aparat peradilan agama di seluruh Indonesia. 2 Hakim Pengadilan Agama Natuna, kandidat Magister Hukum pada Program Pascasarjana (S2) Universitas Islam Riau. 3 Syamsul Anwar, Kerangka Epistemologi Hukum Islam, makalah tidak diterbitkan, hal. 1. 4 Mohammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, alih bahasa Noorhadi, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1996), hal.2. 5 Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, (Yogyakarta: SIPRESS, 1994), hal. 53.
www.badilag.net [PROBLEM EPISTEMOLOGI TEORI HUKUM ISLAM]
Dalam perspektif ahli-ahli hukum Islam, hukum tidak dibuat, melainkan ditemukan. Inilah yang dikatakan para ulama bahwa fungsi mujtahid itu bukan sebagai Musbit (menetapkan hukum), akan tetapi sebagai Muzhir (mengeluarkan, menyatakan hukum). Hukum bersifat meta-insani dan berada secara obyektif di “luar sana”. Locus hukum itu adalah pada Tuhan. Kegiatan ilmu hukum, karena itu, merupakan upaya untuk mengethaui dan mengenal hukum yang meta-insani itu melalui tanda-tanda hukum („alamah, amarah, dalil) yang diberikan oleh sang Pembuat Hukum (Syari‟), kemudian menghadirkannya ke “sini” untuk menjadi acuan penilaian perbuatan manusia sebagai subyek hukum. Dari sinilah epistemologi hukum Islam itu bermula. Pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkannya seperti : apakah yang dapat kita ketahui sebagai hukum Syari‟ ? , Bagaimana caranya kita dapat mengetahui hukum itu?. Sejauh mana kepastian kita tentangnya?. Jawaban terhadap pertanyaan epistemologis itu berkaitan erat dengan metode istimbat hukum yang diikuti oleh berbagai aliran Fiqh.6 II Hukum dalam konsepsi ahli-ahli Usul Fiqh pada hakekatnya adalah sapaan ilahi. Dalam al-Quran, misalnya, Tuhan menyapa, “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah perjanjian-perjanjian” (Q.S. ), atau “Janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang pernah dinikahi oleh ayahmu…” (Q.S. 4:22). Sapaan itulah yag diartikan sebagai hukum. Secara demikian, sapaan itu dalam garis besarnya berisi tiga hal : Tuntutan, Izin, dan Penetapan.
6 Syamsul Anwar, Ibid., hal. 2.
www.badilag.net [PROBLEM EPISTEMOLOGI TEORI HUKUM ISLAM]
Tuntutan meliputi tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan secara memaksa, maupun tuntutan tidak memaksa. Izin adalah perkenan oleh Pembuat hukum kepada manusia untuk melakukan suatu perbuatan. Penetapan adalah penetapan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi yang lain, seperti penetapan akad jual beli sebagai sebab berpindahnya hak milik barang yang dijual kepada pembeli, kehadiran dua orang saksi sebagai syarat keabsahan nikah, dan tindakan membunuh muwaris sebagai penghalang dari memperoleh hak warisannya.
Sapaan ilahi itu ditujukan kepada atau menyangkut perbuatan manusia. Inilah yang dikatakan oleh para ulama dalam defenisi meraka terhadap hukum syar‟i bahwa hukum itu adalah khitab (sapaan) Allah menyangkut perbuatan oang-orang mukallaf yang berisi tuntutan, izin, atau penetapan.7 Karena itulah keseluruhan hukum itu terdiri atas kategori-kategori efis-religius, yaitu wajib, nadb, haram, makruh, dan mubah yang disebut hukum taklifi, serta kategori-kategori sebab, syarat, penghalang, sah, batal, fasid yang disebut hukum wad‟i. Maka hukum syar‟i itu dalam konsepsi ulama-ulama Usul Fiqh tidak lain daripada penilaian Pembuat hukum (Allah) terhadap perbuatan mukalllaf (manusia subyek hukum) menurut kategori-kategori efis-religius itu. III
Muatan lain dalam konsepsi ulama-ulama Usul Fiqh tentang hukum syar‟i menurut aliran teologi yang dominan adalah pengertian bahwa huum syar‟i itu qadim, yaitu sudah ada sejak zaman azali. Beberapa ahli Usul Fiqh bahkan
7 Ibid., hal. 5.
www.badilag.net [PROBLEM EPISTEMOLOGI TEORI HUKUM ISLAM]
mengekspilistkan pengertian ini dalam defenisi hukum yang mereka kemukakan, seperti Al-Qarafi (w. 684 H.) yang menyatakan, “Hukum syar‟i adalah sapaan Ilahi yang qadim yang berkaitan dengan perbuatan para mukallaf dengan berisikan tuntutan dan perkenan”. Juga Ar-Razi (w. 606 H.) dalam karya Usulnya menyatakan bahwa meskipun obyek hukum itu, yaitu perbuatan manusia, adalah baharu, namun hukum syar‟i itu sendiri adalah qadim, karena hukum itu adalah firman Allah dan firman itu qadim.
Teologi yang dominan di kalangan umat Islam memang mengajarkan bahwa kalam ilahi itu adalah qadim. Konsekuensinya, hukum yang merupakan salah satu muatan yang terkandung dalam kalam ilahi itu juga qadim. Ini berarti bahwa hukum itu telah ada sebelum adanya makhluk manusia yang mempersepsikan dan memahaminya. Ahli-ahli hukum Islam modern menjelaskan ini dalam bahasa kontemporer : “Hukum ilahi itu mendahului, dan tidak didahului oleh masyarakat”. Jadi hukum tidak diciptakan dan dikembangkan oleh masyarakat, akan tetapi ditemukan dan dikenali serta dimanifestasikan secara aktual dalam kenyataan.
Tentang medium pengenalan hukum qadim itu teologi ortodoks memberikan pandangannya yang amat menentukan dalam teori hukum Sunni. Melalui apa yang disebut oleh sementara penulis sebagai teori subyektifisme teistik diajarkan bahwa baik dan buruk yang merupakan inti hukum hanya diketahui melalui wahyu Tuhan. Tanpa wahyu tidak ada yang baik dan buruk.Baiknya suatu perbuatan adalah karena adanya perintah Tuhan supaya mengerjakannya, dan buruknya suatu perbuatan adalah karena dilarang oleh
www.badilag.net [PROBLEM EPISTEMOLOGI TEORI HUKUM ISLAM]
Tuhan. Jadi perintah dan larangan Tuhan lah yang menentukan baik atau buruknya sesuatu. Konsekuensi teori ini dalam masalah hukum adalah bahwa tidak ada hukum tanpa Khitab Tuhan dan karena itu tidak mungkin mengenali hukum di luar medium wahyu. Akal natural manusia tidak dapat mengenali hukum tanpa wahyu. Alasan pandangan ini adalah bahwa hukum perlu dipertahankan obyektifitas dan kepastiannya, serta harus dibebaskan dari spekulasi subyektif manusia yang membawa kepada ketidakpastian. Apa yang difikirkan sebagai baik oleh sementara orang mungkin akan dianggap sebaliknya oleh orang lain. Bahkan akal orang yang sama bisa jadi menilai sesuatu sebagai baik pada suatu waktu, dan buruk pada waktu yang lain, karena adanya pengaruh-pengaruh keinginan pribadi, atau tujuan-tujuan.
Wahyu ilahi yang menjadi medium pengenalan hukum itu dibakukan dalam kata-kata (lafaz, teks-teks, nass) yang didengar dari Nabi. Lafal-lafal tersebut dinamakan dalil yang menunjukkan kepada hukum. Karena pentingnya lafal sebagai instrumen melalui mana wahyu yang mengandung hukum dibakukan, maka teori hukum Islam (Usul Fiqh) sebagian besarnya terfokus pada teks. Barangkali tidak terlalu berlebihan bila dikatakan bahwa ilmu hukum Islam itu adalah ilmu interpretasi teks-teks yang di dalamnya wahyu Tuhan berisi hukum itu dibakukan. Itulah mengapa teori linguistik dalam Usul Fiqh dimulai dengan Al-Mabahis al-Lafziyyah (Pembahasan tentang Teks/lafal).
Aliran lainnya dalam sejarah Hukum Islam adalah aliran Rasionalistik Obyektifisme. Aliran ini tidak mengakui konsep hukum yang qadim dan wahyu sebagai satu-satunya medium untuk mengenali hukum. Hukum dapat dikenali
www.badilag.net [PROBLEM EPISTEMOLOGI TEORI HUKUM ISLAM]
juga melalui penggunaan kemampuan penalaran rasional manusia. Hukum adalah bagian dari susunan alam yang bersifat teratur. Karena itu dapat dikenali oleh manusia tanpa bantuan wahyu. Fungsi wahyu adalah sebagai konfirmasi. Analisis hukum, karena itu bukan analisis teks-teks, tetapi analisis terhadap realitas alam yang diciptakan oleh Tuhan. Bertitik tolak pada prinsip keadilan Tuhan, golongan ini menyatakan bahwa demi keadilan-Nya, Tuhan tidak menghendaki yang buruk, karena itu Dia tidak akan memerintahkan suatu yang mengandung mudarat. Sebaliknya, Tuhan menghendaki yang baik, karena itu Dia memerintahkan sesuatu yang mengandung maslahat. Kemaslahatan dan kemudaratan yang diketahui melalui analisis langsung terhadap realitas adalah patokan utama hukum dan dari situlah ilmu hukum bermula. Kelemahan aliran ini adalah bahwa dalam kenyataan, teori mereka itu mandul. Artinya, meskipun mereka berhasil membentuk suatu ilmu hukum yang berlandaskan analisis terhadap realitas, namun teori itu tidak berhasil melahirkan suatu sistem hukum tersendiri yang independen. Secara praktis, mereka tidak mempunyai Fiqh sendiri, mereka hanya menjadi penganut salah satu mazhab hukum yang ada, seperti mazhab Asy-Syafi‟i atau Hanafi.
Muhammad „Abduh dan Rasyid rida berpendapat bahwa Tuhan memerintahkan segala yang baik dan melarang segala yang buruk melalui firman-Nya “Dan perintahkanlah manusia untuk berbuat baik dan cegahlah mereka dari berbuat buruk”. Akan tetapi apa yang baik dan apa yang buruk itu tidak diperinci
www.badilag.net [PROBLEM EPISTEMOLOGI TEORI HUKUM ISLAM]
keterangannya dalam Syara‟. Oleh karena itu pemahamannya diserahkan kepada akal sehat manusia. Ia cukup menghindari apa yang menurutnya buruk.8
Beberapa ulama yang dari segi teologi mendukung teori subyektifisme teistik melihat perlunya penyeimbangan antara analisis teks dan analisis realitas masyarakat dalam penalaran dan argumentasi hukum. Asy-Syatibi misalnya, menjelaskan bahwa ijtihad hukum bergerak dalam dua arah ke titik yang sama. Arah pertama merupakan analisis tekstual untuk menemukan inti dan illat hukum. Arah kedua melakukan analisis terhadap kasus untuk menemukan inti permasalahan yang sebenarnya.9
Asy-Syatibi juga menyarankan apa yang sekarang kita sebut pendekatan sosio historis, yaitu mempelajari konteks sosial dan sejarah yang melatarbelakangi lahirnya teks. Ia mengatakan bahwa suatu teks yang berasal dari suatu sumber sejarah (al-kalam al-mankul) dilafazkan secara tercabut dari konteksnya, sehingga pemahaman teks itu semata-mata berdasarkan teks itu sendiri bisa menyesatkan. Karena itu, analisis historis terhadap konteks yang melahirkannya mutlak diperlukan.10
Jadi, garis besar metode ijtihad yang perlu dikembangkan yaitu pola penalaran dan argumentasi hukum yang bergerak dalam dua level. Pertama, analisis teks dengan pendekatan integral dan sosio historis untuk menemukan cita hukum syar‟i yang ideal. Kedua, melakukan analisis terhadap realitas kekinian masyarakat kita untuk menemukan persoalan sebenarnya. Masing-masing level
8 Muhammad Abduh dan Rasyid Rida, Tafsir Al-Manar, (Mesir: Maktabah Al-Qahirah, t.t. ) Jilid II, hal 196, dan Jilid V hal. 41. 9 Abu Ishaq Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul Al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.) Jilid IV, hal. 47-49. 10 Ibid.
www.badilag.net [PROBLEM EPISTEMOLOGI TEORI HUKUM ISLAM]
analisis itu mungkin akan memperlihatkan adanya jarak tertentu antara hukum ideal sebagai tertuang dalam teks dengan kenyataan masyarakat dan perkembangan sosial, atau tidak. Jika memang terdapat jarak yang begitu jauh, maka dilakukan usaha pendekatan antara keduanya dengan menyesuaikan hukum ideal tadi sampai batas tertentu dengan perkembangan masyarakat dan sebaliknya melakukan social engineering terhadap masyarakat sesuai dengan tuntutan yang dikehendaki oleh hukum syar‟i itu. Contoh paling populer adalah ijtihad cemerlang dalam kasus wasiat wajibah. Menurut Muhammad Siraj, analisis teks hukum syar‟i menghasilkan kesimpulan hukum bahwa cucu yang ayahnya telah meninggal lebih dahulu dari kakeknya, dalam keadaan tertentu tidak mendapat hak warisan dari sang kakek. Akan tetapi kesadaran masyarakat dalam kenyataannya menuntut sang cucu agar diberi warisan. Pemecahannya adalah dengan wasiat wajibah. III Nash (teks) sebagai satu-satunya medium melalui mana hukum dapat dikenali, permasalahannya adalah bahwa teks-teks itu terbatas sementara persoalan hukum berkembang terus menerus sehingga teks itu harus diperluas cakupannya agar dapat menampung perkembangan baru. Pertanyaannya adalah sejauh mana perluasan itu dapat dilakukan sehingga hukum hasil perluasan itu masih tetap dapat disebut hukum Syar‟i ??
Para ahli hukum Islam membedakan hukum itu menjadi tiga lapisan, yaitu hukum nass, hukum qiyas, dan hukum maslahah.11 Hukum Nass adalah hukum
11 Syamsul Anwar, Kerangka Epistemologi…, Op.cit., hal.9.
www.badilag.net [PROBLEM EPISTEMOLOGI TEORI HUKUM ISLAM]
yang langsung berdasarkan nass individual tertentu. Sedangkan hukum Qiyas adalah hukum hasil perluasan terhadap nass dengan cara memasukkan kasus yang tidak ada nass individualnya. Alasan pembenar dari perluasan dan pemasukan kasus tanpa nass ke dalam kasus nass itu adalah adanya nilai kesamaan antara keduanya yang tercermin dalam illat. Jadi hukum Qiyas dasar sesungguhnya adalah nass individual juga. Sedangkan Hukum Maslahah merupakan perluasan lebih jauh dari nass, namun dasarnya bukanlah nass individual, melainkan nass kolektif, yaitu kumpulan sejumlah nass yang dari padanya disimpulkan prinsip umum Syari‟ah. Prinsip umum (Al-Asl al-Kulli) itulah yang menjadi dasar hukum Maslahah. Legitimasinya sebagai hukum syar‟i disini adalah unsur Mula‟amah (Munasabah), yaitu kesesuaian dengan dan termasuknya kedalam lingkaran prinsip umum syari‟ah.12
Di luar ketiga lapis hukum itu, menurut teori hukum Sunni, tidak ada lagi hukum syar‟i mengingat prinsip tiada hukum syar‟i tanpa Khitab (sapaan ilahi). Tetapi At-Tufi dan Mu‟tazilah berpendapat bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan penalaran rasional murni, selama mengandung maslahat, adalah juga hukum syar‟i mengingat prinsip mereka bahwa hukum dapat dikenali oleh akal. Bagi ahli-ahli hukum Sunni ortodoks, karena keyakinan bahwa wahyu Tuhan adalah serba cukup, maka bila ada suatu kasus, selalu diusahakan mencari nassnya betapapun kaitan nass itu dengan kasus tersebut amat jauh. Justeru disinilah
12 Ibid.
www.badilag.net [PROBLEM EPISTEMOLOGI TEORI HUKUM ISLAM]
kadang-kadang terbuka pintu yang bisa mendorong ke arah menjadikan nass-nass sebagai legitimasi.13 Wallahu a‟lam. Daftar Pustaka „Abduh, Muhammad. Tafsir Al-Manar, Mesir: Maktabah Al-Qahirah, t.t. Anwar, Syamsul. Kerangka Epistemologi Hukum Islam, makalah tidak diterbitkan. Asy-Syatibi, Abu Ishaq. Al-Muwafaqat fi Usul Al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, t.t. Kamali, Mohammad Hashim. Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, alih bahasa Noorhadi, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1996. Mulkhan, Abdul Munir. Paradigma Intelektual Muslim, Yogyakarta: SIPRESS, 1994. Muslehuddin, Muhammad. “Hukum Islam dan Perubahan Sosial”, dalam Yudian W. Asmin (ed.), Ke arah Fiqh Indonesia, Yogyakarta: Forum Studi Hukum Islam Fak. Syari‟ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1994.
13 Muhammad Muslehuddin, “Hukum islam dan Perubahan Sosial”, dalam Yudian W. Asmin (ed.), Ke arah Fiqh Indonesia, (Yogyakarta: Forum Studi Hukum Islam Fak. Syari‟ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1994), hal. 119.
Baca Terusannya »»  

ALASAN PERCERAIAN DAN AKIBAT PERCERAIAN

PERKEMBANGAN ALASAN PERCERAIAN DAN AKIBAT PERCERAIAN
MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM BELANDA

A. PENDAHULUAN
Hukum Islam adalah salah satu aspek ajaran Islam yang menempati posisi
penting dalam pandangan umat Islam, karena ia merupakan manifestasi paling kongkrit
dari hukum Islam sebagai sebuah agama . Sedemikian pentingnya hukum Islam dalam
skema doktrinal Islam, sehingga seorang orientalis, Joseph Schacht, menilai bahwa
“mustahil memahami Islam tanpa memahami Hukum Islam”1
Hukum Islam menjadi hukum yang hidup (living law) dan berakar kuat
dikalangan masyarakat indonesia yang mayoritas muslim. Masuknya hukum Islam ke
Indonesia bersamaan dengan masuknya agama Islam ke Indonesia. Selanjutnya hukum
Islam menancapkan pengaruh yang kuat setelah umat Islam memiliki kekuatan politik di
Indonesia yang ditandai dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di nusantara, seperti
Kerajaan Samudera Pasai, Kesultanan Demak, dll.
Dalam sejarah hukum di Indonesia, hukum Islam dalam perkembangannya
mengalami pasang surut terutama setelah bangsa Indonesia mengalami masa penjajahan
Belanda, hukum Islam di Indonesia diupayakan sedikit demi sedikit dihapus apalagi
setelah Snouchk Hurgronye dengan teori receptie-nya berusaha menghilangkan hukum
Islam dengan cara membenturkan hukum Islam dengan Hukum adat (adatrech).2 Namun
upaya tersebut gagal dan sampai sekarang hukum Islam tetap eksis dan memberikan
kontribusi besar terhadap terbentuknya Hukum Nasional. Hukum Islam menjadi sumber
hukum nasional selain hukum adat dan hukum Belanda.
Dalam tata hukum Nasional-Indonesia UU No 1/1974 dan Inpres No 1/1991
merupakan peraturan yang memuat nilai-nilai hukum Islam, bahkan KHI merupakan fiqh
Indonesia yang sepenuhnya memuat materi hukum keperdataan Islam termasuk
diantaranya perkawinan dan perceraian.
1 Abdul Halim Barkatullah &Teguh Prasetyo ,Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman yang Terus
Berkembang, Pustaka Pelajar Yogyakarta., Cet.1 2006, h.145.
2 Abdul Manan, Reformasi hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, h. 2
2
Perkawinan dan perceraian merupakan suatu hal yang sangat urgen dalam
kehidupan manusia, itu sebabnya hukum Islam menaruh perhatian yang cukup signifikan
terhadap kedua hal tersebut. Hal ini bisa terlihat apabila kita mengkaji hukum Islam
diatas, niscaya akan kita temukan kedua hal tadi menjadi salah satu objek pembahasan
hukum Islam.
Perceraian tidak bisa dipisahkan dari perkawinan, tak ada perceraian tanpa
diawali perkawinan. Perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan bathin antara seorang lakilaki
dan seorang wanita untuk membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah
warahmah. Namun pada saat tujuan itu tidak tercapai, maka perceraian merupakan jalan
keluar (way out) terakhir yang mesti ditempuh. Perceraian tidak dapat dilakukan kecuali
telah ada alasan-alasan yang dibenarkan oleh agama dan undang-undang
Dalam hukum Islam, alasan-alasan perceraian itu mengalami perkembangan
sesuai dengan setting sosial yang melingkupi hukum tersebut. Karena itu, dalam makalah
ini, penulis berupaya menyoroti dan memaparkan perkembangan alasan-alasan perceraian
dan akibat perceraian menurut Perspektif hukum Islam dan hukum Belanda yang
keduanya memberikan pengaruh yang cukup signifikan dan memiliki kedudukan
tersendiri dalam pengembangan hukum nasional di Indonesia.
1. Pengertian dan Kedudukan Perceraian
Perceraian merupakan bagian dari pernikahan, sebab tidak ada perceraian
tanpa diawali pernikahan terlebih dahulu. Pernikahan merupakan awal dari hidup
bersama antara seorang pria dan seorang wanita yang diatur dalam peraturan perundangundangan
yang berlaku. Dalam semua tradisi hukum, baik civil law, common law,
maupun Islamic Law, perkawinan adalah sebuah kontrak berdasarkan persetujuan
sukarela yang bersifat pribadi antara seorang pria dan seorang wanita untuk menjadi
suami isteri. Dalam hal ini, perkawinan selalu dipandang sebagai dasar bagi unit keluarga
yang mempunyai arti penting bagi penjagaan moral atau akhak masyarakat dan
pembentukan peradaban.3
3 Rifyal Ka’bah, Permasalahan Perkawinan, dalam Majalah Varia Peradilan, No 271 Juni 2008, IKAHI,
Jakarta, hal 7
3
Perkawinan sebagai perjanjian atau kontrak (‘aqd), maka pihak-pihak yang
terikat dengan perjanjian atau kontrak berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia
lahir bathin dengan melahirkan anak cucu yang meneruskan cita-cita mereka. Bila ikatan
lahir bathin tidak dapat diwujudkan dalam perkawinan, misalnya tidak lagi dapat
melakukan hubungan seksual, atau tidak dapat melahirkan keturunan, atau masingmasing
sudah mempunyai tujuan yang berbeda, maka perjanjian dapat dibatalkan
melalui pemutusan perkawinan (perceraian) atau paling tidak ditinjau kembali melalui
perkawinan kembali setelah terjadi perceraian “ruju’’.4
Bagi orang Islam, perceraian lebih dikenal dengan istilah talak. Menurut
Sayyid Sabiq, talak adalah
حل رابطة الزواج وانھاء العلاقة الزوجیة
Artinya: melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan
perkawinan.5
Menurut HA. Fuad Sa’id yang dimaksud dengan perceraian adalah putusnya
perkawinan antara suami dengan isteri karena tidak terdapat kerukunan dalam rumah
tangga atau sebab lain seperti mandulnya isteri atau suami dan setelah sebelumnya
diupayakan perdamaian dengan melibatkan keluarga kedua belah pihak.6 Dari uraian
diatas dapat diketahui, bahwa Pertama; perceraian baru dapat dilaksanakan apabila telah
dilakukan berbagai cara untuk mendamaikan kedua belah pihak untuk tetap
mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka dan ternyata tidak ada jalan lain kecuali
hanya dengan jalan perceraian. Dengan perkataan lain bahwa perceraian itu adalah
sebagai way out bagi suami isteri demi kebahagian yang dapat diharapkan sesudah
terjadinya perceraian terjadi. Kedua; bahwa perceraian itu merupakan sesuatu yang
dibolehkan namun dibenci oleh agama. Berdasarkan sabda Rasul:
ابغض الحلال عند الله الطلاق (رواه ابو داود والحاكم )
“Hal yang halal tetapi paling dibenci menurut Allah adalah perceraian”
Dalam sebuah hadits, ada ancaman khusus bagi seorang isteri yang meminta
jatuhnya talak dari suaminya tanpa disertai alasan yang dibenarkan syara. Rasul bersabda:
4 Ibid.
5 Sayyid Sabiq, Fiqhusunnah, Darul Fikri, Beirut, Jilid II, h.206 tt.
6 Abdul Manan, Problematika Perceraian Karena Zina dalam Proses Penyelesaian Perkara di Lingkungan
Peradilan Agama, dalam Jurnal Mimbar Hukum, al-Hikmah & DITBINBAPERA, Jakarta.No 52 Th XII
2001 h. 7
4
أیما امرأة سألت زوجھا طلاقا من غیر بأس فحرام علیھا رائحة الجنة
(رواه اصحاب السنن والترمذى حسنھ)
Artinya:”Siapa saja isteri yang menuntut cerai kepada suaminya tanpa alasan
yang jelas, maka ia haram menghirup wanginya surga”7.
Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam pertama, dalam banyak kesempatan
selalu menyarankan agar suami isteri bergaul secara ma’ruf dan jangan menceraikan
isteri dengan sebab-sebab yang tidak prinsip. Jika terjadi pertengkaran yang sangat
memuncak diantara suami isteri dianjurkan bersabar dan berlaku baik untuk tetap rukun
dalam rumah tangga, tidak langsung membubarkan perkawinan mereka, tetapi hendaklah
menempuh usaha perdamaian terlebih dahulu dengan mengirim seorang hakam dari
keluarga pihak suami dan seorang hakam dari keluarga pihak isteri untuk mengadakan
perdamaian. Jika usaha ini tidak berhasil dilaksanakan, maka perceraian baru dapat
dilakukan.
Secara garis besar hukum Islam membagi perceraian kepada dua golongan
besar yaitu talak dan fasakh. Talak adalah perceraian yang timbul dari tindakan suami
untuk melepaskan ikatan dengan lafadz talak dan seumpamanya, sedangkan fasakh
adalah melepas ikatan perkawinan antara suami isteri yang biasanya dilakukan oleh isteri.
Dari dua golongan perceraian ini, Dr. Abdurrahman Taj sebagaimana dikutip oleh H.M
Djamil Latief, S.H. membuat klasifikasi perceraian sebagai berikut, (1) Talak yang terjadi
dengan keputusan hakim yaitu li’an, perceraian dengan sebab aib suami seperti impoten
dan perceraian dengan sebab suami menolak masuk Islam, (2)Talak yang terjadi tanpa
putusan Hakim yaitu talak biasa yakni talak yang diucapkan suami baik sharih maupun
kinayah dan ‘ila, (3) fasakh yang terjadi dengan keputusan hakim yaitu dengan sebab
perkawinannya anak laki-laki atau perempuan yang masih dibawah umur dan perkawinan
itu tidak dilakukan oleh wali yaitu bapaknya atau kakeknya, fasakh dengan sebab salah
satu pihak dalam keadaan gila, tidak sekufu, kurangnya mas kawin dari mahar mitsil dan
salah satu pihak menolak masuk Islam, (4) fasakh yang terjadi tanpa adanya putusan
7 Sayyid Sabiq. Lokcit.h. 207
5
hakim, yaitu fasakh dengan sebab merdekanya isteri, ada hubungan semenda antara
suami isteri dan nikahnya fasid sejak semula.8
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia sebagai bentuk
mempositifkan hukum Islam mengklasifikasi penyebab terjadinya perceraian kepada (1)
Kematian salah satu pihak, (2) Perceraian karena talak dan perceraian karena gugat, (3)
keputusan Pengadilan.9
Dalam hukum Belanda, Perceraian dikenal sebagai salah satu penyebab
bubarnya perkawinan. Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 199 BW Dalam pasal
199 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wet Book) disebutkan
Perkawinan dapat bubar karena (1) kematian salah satu pihak, (2) keadaan tidak hadirnya
suami atau isteri selama 10 Tahun diikuti perkawinan baru si isteri atau suami setelah
mendapat izin dari Hakim, (3) karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan
ranjang, serta pembuktian bubarnya perkawinan dalam register catatan sipil, (4).
Perceraian.10
2. Perkembangan Alasan Perceraian
Pada dasarnya hukum Islam menetapkan bahwa alasan perceraian hanya satu
macam saja yaitu pertengkaran yang sangat memuncak dan membahayakan keselamatan
jiwa yang disebut dengan “syiqaq” sebagaimana Firman Allah dalam al-Qur’an Surat an-
Nisa ayat 35 yang berbunyi:
وان خفتم شقاق بینھما فابعثوا حكما من اھلھ وحكما
من اھلھا ان یریدا اصلاحا یوفق الله بینھما
ان الله كان علیما خبیرا
Artinya: “Dan jika kamu khawatir terjadinya perselisihan diantara keduanya
(suami dan Isteri), maka utuslah seorang hakam dari keluarga suaminya dan seorang
hakam dari keluarga Isteri. Dan jika keduanya menghendaki kebaikan, niscaya Allah
8 Abdul Manan, Lokcit, h.12.
9 Ibid.
10Ibid
6
memberikan petunjuk kepada keduanya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan
Maha Mengawasi”.
Sedangkan menurut hukum Perdata, perceraian hanya dapat terjadi
berdasarkan alasan-alasan yang ditentukan Undang-undang dan harus dilakukan di depan
sidang Pengadilan.11 Dalam kaitan ini ada dua pengertian yang perlu dipahami yaitu
istilah “bubarnya perkawinan” dan “perceraian”.
Perceraian adalah salah satu sebab dari bubarnya atau putusnya perkawinan.
Dalam pasal 199 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) disebutkan Perkawinan
dapat bubar karena (1) kematian salah satu pihak, (2) keadaan tidak hadirnya suami atau
isteri selama 10 Tahun diikuti perkawinan baru si isteri atau suami setelah mendapat izin
dari Hakim, (3) karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan ranjang, serta
pembuktian bubarnya perkawinan dalam register catatan sipil, (4). Perceraian. Sedangkan
perceraian yang menjadi dasar bubarnya perkawinan adalah perceraian yang tidak
didahului oleh perpisahan meja dan ranjang. Tentang hal ini ditentukan dalam pasal 209
Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu (1) Zina baik yang dilakukan oleh suami
atau isteri, (2) Meningggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja, (3) Suami atau
isteri dihukum selama 5 tahun penjara atau lebih yang dijatuhkan setelah perkawinan
dilaksanakan, (4) Salah satu pihak melakukan penganiyaan berat yang membahayakan
jiwa pihak lain (suami/isteri). Lebih lanjut dalam pasal 208 KUH Perdata bahwa
perceraian tidak dapat dilaksanakan berdasarkan atas persetujuan antara suami dan isteri.
Dalam pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
disebutkan bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi karena salah satu pihak meninggal
dunia, karena perceraian dan karena adanya putusan pengadilan . Kemudian dalam pasal
39 ayat (2) ditentukan bahwa untuk melaksanakan perceraian harus cukup alasan yaitu
antara suami isteri tidak akan hidup sebagai suami isteri . Ketentuan ini dipertegas lagi
dalam penjelasan pasal 39 ayat (2) tersebut dan pasal 19 Peraturan pemerintah Nomor 9
tahun 1975 yang mana disebutkan bahwa alasan yang dapat dipergunakan untuk
melaksanakan perceraian adalah:
11 Yahya Harahap, Beberapa Permasalahan Hukum Acara pada Peradilan Agama, al-Hikmah, Jakarta, h.
133, th 1975
7
- Salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat dan lain sebagainya yang
sukar disembuhkan
- Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemauannya.
- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung
- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang
membahayakan pihak lain.
- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.
- Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Alasan perceraian ini adalah sama seperti yang tersebut dalam pasal 116
Kompilasi Hukum Islam dengan penambahan dua ayat yaitu:(a) suami melanggar taklik
talak dan (b) peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga.
Memperhatikan alasan-alasan perceraian yang diterima dalam hukum
Perkawinan Nasional, maka dapat diketahui bahwa hukum positif di Indonesia tidak
mengenal lembaga hidup terpisah yaitu perceraian pisah meja dan pisah tempat tidur
(scheding van tafel end bed) sebagaimana diatur dalam pasal 424 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata atau dalam lembaga hukum keluarga Eropa yang dikenal dengan
“separation from bed and board”. Selai dari hal ini ketentuan yang diatur dalam hukum
positif Indonesia hampir sama dengan apa yang tersebut dalam Stb.1933-74 pasal 52 dan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 208, kecuali apa yang tersebut dalam
Kompilasi Hukum Islam sebagaimana tersebut diatas.
Perkembangan hukum keluarga di beberapa negara Eropa menunjukkan
bahwa alasa-alasan perceraian sebagaimana tersebut diatas sudah banyak dimodifikasi
sesuai dengan perkembangan hidup masyarakat. Di negara Belanda dalam pasal 151 NBW
baru Tahun 1971ditetapkan bahwa perceraian dapat diputuskan oleh Pengadilan jika
perkawinan itu sudah tidak dapat dirukunkan lagi dan ini adalah sama dengan retaknya
rumah tangga yang tidak dapat diperbaiki lagi (brokendown marriage). Sekarang tidak
8
dipersoalkan lagi siapa yang bersalah (matrimonial guilt) sehingga mereka bercerai, yang
penting sekarang tidak ada lagi prospek pemulihan hubungan rumah tangga yang
bahagia. Pihak suami atau isteri yang mengajukan perceraian kepada Pengadilan harus
menunjukkan bukti kepada hakim bahwa rumah tangganya betul-betul telah retak yang
tidak dapat diperbaiki lagi.
Di Inggris semula menganut asas bahwa perceraian hanya dapat dilakukan
oleh Penggugat yang tidak bersalah dan dapat membuktikan kesalahan Tergugat bahwa ia
telah melakukan pelanggaran dalam perkawinan.. Dalam The Matrimanial Act 1973
ditentukan bahwa gugatan perceraian boleh diajukan ke Pengadilan oleh Pihak suami atau
isteri atas dasar perkawinan yang telah retak (brokendown marriage) yang tidak dapat
diperbaiki lagi. Ini adalah satu-satunya alasan perceraian menurut hukum keluarga di
Inggris. Pengadilan dapat mengabulkan permohonan perceraian setelah menilai keretakan
dari perkawinan tersebut.12
Dalam menyelesaikan perkara perceraian dengan alasan pecahnya
perkawinan. Peradilan keluarga Belanda dan Inggris menempuh prosedur yang mirip
dengan prosedur syiqaq dalam hukum Islam. Langkah pertama setelah perkara terdaftar,
pengadilan memberi waktu kedua belah pihak untuk berfikir secara mendalam. Dalam
tenggang waktu tersebut, mereka diharuskan berkonsultasi dengan tim ahli masalah
keluarga yang mirip dengan institusi hakamain dalam Syiqaq. Hasil kesepakatan mereka
akan disahkan oleh Pengadilan. Langkah kedua ialah, bila kesepakatan tidak tercapai,
pemeriksaan di Pengadilan baru dilakukan dengan menempuh prosedur hukum acara
biasa.13
Bustanil Arifin mengutip Dr. S. Jaffar Husein bahwa kemiripan penyelesaian
perkara perceraian karena marriage break down dengan prosedur Syiqaq (marriage
breakdown itu sebenarnya sudah berarti Syiqaq) membuktikan bahwa dunia sekarang
dalam masalah perceraian kembali kepada konsep al-Qur’an.14
Sebagaimana telah diuraikan dimuka, Sebenarnya hukum Islam sudah terlebih
dahulu menetapkan bahwa alasan perceraian hanya ada satu macam saja yaitu
12 Abdul Kadir Muhammad, Perkembangan Beberapa HUkum Keluarga di Beberapa Negara Eropa, Citra
Aditya Bandung, 1998, h.126
13 Taufiq, Peradilan Keluarga Indonesia, Mahkamah Agung RI , Jakarta, 2000, h.80
14 Busthanul Arifin, Transformasi Hukum Islam ke Hukum Nasional, al-Hikmah, Jakarta,2001, h. 60
9
pertengkaran yang sangat memuncak dan membahayakan keselamatan jiwa yang disebut
dengan “Syiqaq” atau (broken mariage, marital breakdown). Namun dengan merinci
alasan-alasan cerai yang sebenarnya hanyalah indikator dari pecahnya sebuah
perkawinan. sebagaimana tercantum dalam pasal 19 PP no 9 Tahun 1975 dan pasal 116
Kompilasi Hukum Islam, sesungguhnya Hukum Islam di Indonesia telah berjalan mundur
kebelakang karena mengikuti Burgerlijk Wetboek (BW) dan Huwelijke Ordonantie voor
Christen Indonesiers Java, Minahasa en Amboina (HOCI) . Sedangkan di Belanda
sendiri, ternyata alasan perceraian seperti yang terdapat dalam Burgerlijk Wetboek dan
Huwelijke Ordonantie voor Christen Indonesiers Java, Minahasa en Amboina telah lama
ditingggalkan.15
D. AKIBAT PERCERAIAN
Dalam hukum Islam maupun hukum Belanda, perceraian yang terjadi antara
seorang suami dan isteri bukan hanya memutuskan ikatan perkawinan saja, lebih lanjut
perkawinan juga melahirkan beberapa akibat seperti timbulnya pembagian harta bersama
(gemenshap) dan hak pengurusan anak (hadlonah).
a. Harta Bersama
Perceraian yang timbul antara suami dan isteri melahirkan akibat, diantaranya
adalah pembagian harta bersama. Dalam bahasa Belanda disebut gemenschap.
Sebenarnya konsep harta bersama dalam hukum Islam tidak ditemukan nash yang secara
tegas menyebutkan hukum harta bersama baik dalam al-Qur’an maupun hadist.
Karenanya hal ini merupakan ranah ijtihad bagi ulama yang memiliki kafasitas untuk
melakukan ijtihad atau yang dikenal dengan istilah mujtahid.
Satria Effendi M. Zein menyebutkan bahwa dalam kultur masyarakat muslim
berkaitan dengan harta yang diperoleh dalam sebuah pernikahan ada dua kultur yang
berlaku, pertama; kultur masyarakat yang memisahkan antara harta suami dan harta isteri
dalam sebuah rumah tangga. Dalam masyarakat muslim seperti ini, tidak ditemukan
adanya istilah harta bersama. Kedua; masyarakat muslim yang tidak memisahkan harta
yang diperoleh suami isteri dalam pernikahan. Masyarakat muslim seperti ini mengenal
dan mengakui adanya harta bersama. Di Indonesia, adat kebiasaan masyarakat muslim
15 Taufiq, Lokcit, h.80
10
yang mengakui adanya harta bersama sudah menjadi lebih kuat, karena telah dituangkan
dalam pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974.16
Sedangkan dalam hukum Belanda yang terdapat dalam Pasal 119 dan Pasal
126 Burgerlijk Wetboek disebutkan bahwa sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka
menurut hukum, terjadilah percampuran harta antara suami isteri yang disebut dengan
harta bersama. Hal ini terjadi selama tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Harta bersama bubar atau berakhit demi hukum disebabkan; kematian salah
satu pihak, perceraian, pisah meja dan ranjang dan karena pemisahan harta yang
dituangkan dalam perjanjian sebelum terjadinya perkawinan. Dan dalam Pasal 127 BW,
setelah bubarnya harta bersama, kekayaan mereka dibagi dua antara suami dan isteri atau
antara para pewaris mereka tanpa mempersoalkan dari pihak mana asal barang-barang
itu.
b. Pengurusan anak
Perceraian disamping menimbulkan adanya pembagian harta bersama seperti
yang diterangkan diatas, juga menimbulkan masalah pengurusan anak. Pengurusan anak
atau dikenal dengan sebutan hadlonah. Hukum Islam menyebutkan bahwa apabila terjadi
perceraian antara suami dan isteri, maka isterilah yang berhak mengasuh mendidik dan
memelihara anak-anaknya selama anak-nya belum mumayyiz. Hal ini berdasarkan Sabda
Nabi kepada seorang isteri yang mengadukan pengurusan anaknya setelah isteri tersebut
bercerai dari suaminya. Nabi berkata:”kaulah yang lebih berhak mendidik anakmu
selama kamu belum kawin dengan orang lain”. (Hadits riwayatAbu Dawud dan al-
Hakim) 17
Disamping dua akibat perceraian diatas, khusus dalam hukum Islam ada
akibat-akibat lain yang timbul dari perceraian yang tidak ada dalam Hukum Belanda.
Dalam hukum Islam ada ciri khas yang tidak ada dalam Hukum Belanda bahwa
perceraian tidak sekaligus memutus hubungan suami isteri terutama perceraian dalam
bentuk talak raj’i yang memberikan hak ruju’ kepada suami sebelum masa ‘iddah-nya
habis.
16 Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Kencana ,Jakarta.Cet.2 h. 60-61
17 Ibid.
11
Untuk lebih jelasnya implikasi yang ditimbulkan perceraian dalam konsep
hukum Islam selain yang telah dipaparkan diatas, penulis akan paparkan sebagai berikut:
1. Akibat talak
1.1 Akibat Talak Raj’i
Talak raj’i tidak menghalangi mantan suami berkumpul dengan mantan
isterinya, sebab akad perkawinannya tidak hilang dan tidak menghilangkan hak
(pemilikan), serta tidak mempengaruhi hubungannya yang halal (kecuali persetubuhan).18
Segala akibat hukum talak baru berjalan sesudah habis masa ‘iddah dan jika
tidak ada ruju’. Sedangkan apabila masa ‘iddah telah habis maka tidak boleh ruju’dan
berarti perempuan itu telah ter-talak ba’in. Jika masih ada dalam masa ‘iddah maka talak
raj’i yang berarti tidak melarang suami berkumpul dengan isterinya kecuali
bersengggama. Jika ia menggaulinya istrinya berarti ia telah ruju’. Selama dalam masa
‘iddah, isteri yang ditalak raj’i masih berhak memperoleh tempat tinggal, pakaian, dan
uang belanja dari mantan suaminya. Dan selama dalam masa ‘iddah bekas isteri wajib
menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.
Rasulullah SAW bersabda:
انما النفقة و السكنى للمرأة اذا كان للزوجة علیھا الرجعة (رواه احمد والنسائ)
Artinya:”Perempuan yang berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal
dari mantan suaminya adalah apabila mantan suaminya itu berhak merujuk kepadanya”.
(HR. Muslim).19
Berkaitan dengan adanya konsep ruju’ dalam hukum Islam, Syeikh
Muhammad Ali As-Shabuni mengutip perkataan Ahmad Muhammad Jamal mengatakan
bahwa Hukum Islam memiliki ciri khas dalam masalah perceraian yang tidak dimiliki
oleh sistem hukum yang lain yaitu masalah ruju’ atau bisa kembalinya seorang suami
terhadap isteri yang dithalak satu dan dua selama belum habis masa ‘iddah (
menunggu). Hal ini menunjukan bahwa Islam sangat menginginkan kembalinya mantan
18 A. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (kencana, Jakarta. 2006 cet.2 h. 265
19 Ibid
12
suami dan mantan isteri tersebut dalam ikatan perkawinan sehingga keturunan keduanya
dapat terpelihara dengan baik.20
1.2 Akibat Talak Bain Shugra
Talak Ba’in Sughra menghilangkan pemilikan bekas suami terhadap bekas
isterinya tetapi tidak menghilangkan kehalalan bekas suami untuk menikahi kembali
dengan mantan isterinya, artinya bekas suami boleh mengadakan akad nikah baru dengan
bekas isteri, baik dalam masa ‘iddah-nya maupun sesudah berakhir masa ‘iddah-nya.
Termasuk talak ba’in sughra adalah
- Talak qabla dukhul
- Talak dengan penggantian harta atau yang disebut dengan khulu’
- Talak karena cacad badan, karena salah seorang dipenjara dan talak karena
penganiyaan.
1.3 Akibat Talak Ba’in Kubra.
Hukum talak bain kubra sama dengan talak ba’in sughra, yaitu memutuskan
hubungan tali perkawinan antara suami dan isteri. Tetapi talak bain kubra tidak
menghalalkan bekas suami merujuk mantan isterinya, kecuali sesudah ia menikah dengan
laki-laki lain dan telah bercerai sesudah dikumpulinya, tanpa ada niat tahlil. Sebagaiman
firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah 230.
فان طلقھا فلا تحل لھ من بعد حتى تنكح زوجا غیره
Perempuan yang menjalani ‘iddah talak ba’in, jika tidak hamil, ia hanya
berhak memperoleh tempat tinggal (rumah), sedangkan jika ia hamil maka ia berhak
tempat tingggal dan nafkah. Sebagaimana dalam surat al-Talaq ayat 6
ااسكنوھن من حیث سكنتم من وجدكم ولا تضاروھن لتضیقوا علیھن وان كن أولات حمل فانفقوا
علیھن حتى یضعن حملھن
20 Ali As-Shabuni, Tafsir Rawa’iul Bayan fi Ayat al-Ahkam, Darul Fikri, Beirut Juz I h. 344
13
2. Akibat Li’an
Akibat li’an adalah terjadinya perceraian antara suami isteri. Bagi suami,
maka isterinya menjadi haram untuk selamanya. Ia tidak boleh rujuk ataupun menikah
lagi dengan akad baru. Bila isterinya melahirkan anak yang dikandungnya, maka anak itu
dihukumkan tidak termasuk keturunan suaminya.21
3. Akibat Fasakh
Pisahnya suami isteri akibat fasakh berbeda dengan yang diakibatkan oleh
talak. Sebab talak ada talak bain dan ada talak raj’i. Talak raj’i tidak mengakhiri ikatan
suami isteri dengan seketika sedangkan talak ba’in mengakhirinya seketika itu juga.
Adapun fasakh, baik karena hal-hal yang datang belakangan maupun karena
adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, maka ia mengakhiri ikatan pernikahan seketika
itu juga.
4. Akibat khulu’
Khulu’ adalah perceraian dengan disertai sejumlah harta sebagai ‘iwadh yang
diberikan oleh isteri kepada suaminya untuk menebus diri agar terlepas dari ikatan
perkawinan. Perceraian antara suami dan isteri akibat khulu’, suami tidak bisa meruju’
isterinya pada masa ‘iddah.
KESIMPULAN
1. Perceraian adalah jalan keluar terakhir (way out )untuk mengakhiri perkawinan
yang sudah tidak mungkin lagi dapat dipertahankan dan perceraian ini dilakukan
demi kebahagian yang dapat diharapkan sesudah terjadinya perceraian. Perceraian
hanya dapat dilakukan apabila telah terbukti adanya alasan-alasan yang dapat
dibenarkan oleh hukum Agama dan Undang-undang yang berlaku.
2. Alasan perceraian senantiasa berkembang mengikuti perkembangan dan
perubahan hukum yang merespon perubahan sosial. Alasan perceraian dalam
hukum Islam Indonesia yang tercermin dalam pasal 19 PP no 9 Tahun 1975 dan
pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, sesungguhnya telah berjalan mundur
kebelakang karena mengikuti Burgerlijk Wetboek (BW) dan Huwelijke
Ordonantie voor Christen Indonesiers Java, Minahasa en Amboina (HOCI) yang
21 A. Rahman Ghazali, Lokcit, h. 272-276
14
ternyata telah ditingggalkan oleh Belanda sendiri. Dan hukum Belanda
kontemporer memandang bahwa satu-satunya alasan perceraian adalah pecahnya
perkawinan (marriage breakdown) yang dalam hukum Islam klasik dikenal
dengan term Syiqaq.
3. Dalam hukum Islam dan hukum Belanda Perceraian tidak hanya mengakhiri
perkawinan antara suami isteri. Tetapi, disamping itu perceraian melahirkan
akibat adanya pembagian harta bersama dan pengurusan anak. Dan khusus dalam
hukum Islam, perceraian menyebabkan adanya ‘nafkah iddah, mut’ah,
maskan,kiswah,’iddah, ruju’ dan nisbat anak terhadap ibu saja (perceraian akibat
li’an)
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Muhammad Ali as-Shabuni, Tafsir Rawa’iul Bayan fi Ayat al-Ahkam, Jilid II,
Dar al-Fikr, Beirut, Tt.
2. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid II, Dar al-Fikri, Beirut, Th 1983.
3. Satria Effendi M Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer,
Kencana, Jakarta, 2004
4. Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab
Tantangan Zaman yang Terus Berkembang, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.
5. Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta, 2006
6. Abdul Manan, Problematika Perceraian Karena Zina dalam Proses
Penyelesaian Perkara di Lingkungan Peradilan Agama, Mimbar Hukum No 52
Th XII Mei- Juni 2001, Jakarta, al-Hikmah & DITBINBAPERA Islam.
7. Rifyal Ka’bah, Permasalahan Perkawinan, Varia Peradilan No. 271 Th XXII Juni
2008, Jakarta, IKAHI .
8. Busthanul Arifin, Transformasi Hukum Islam ke Hukum Nasional, al-Hikmah Jakarta
2001
9. Taufiq, Peradilan Keluarga Indonesia, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2001.
10. Abdul Kadir Muhammad, perkembangan Hukum Keluarga di Beberapa Negara
Eropah, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998
11. Abdul Manan, Reformasi hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2006
12. Yahya Harahap, Beberapa Permasalahan Hukum Acara pada Peradilan
Agama, al-Hikmah, Jakarta, th 1975
Baca Terusannya »»  

SANAD DAN MATAN HADITS

PENELITIAN SANAD DAN MATAN HADITS

Imam Muslim yang hidup pada abad ke – 3 H, menamakan bukunya dengan Al – Tamyiz, yang isi bahasannya adalah metodologi ktirtik hadits. Sebagian ulama hadits di abad ke – 2 H juga telah menggunakan kata al-naqd di dalam karya mereka, namun mereka tidak menampilkannya di dalam judul buku mereka tersebut. Mereka justru memberi judul bagi karya yang membahas mengenai kritik hadits ini dengan nama Al-Jarh wa al-ta’dil, yaitu ilmu yang berfungsi membatalkan dan menetapkan keotentikan riwayat dalam hadits.
Apabila kritik hadits secara sederhana diartikan sebagai upaya dan kegiatan untuk mengecek dan menilai kebenaran suatu hadits, maka aktifitas dimaksud telah ada sejak Nabi SAW masih hidup. Namun, dalam tahapan ini, aktifitas kritik hadits tersebut masih terbatas pada upaya mendatangi Rasul SAW dalam membuktikan kebenaran suatu riwayat yang disampaikan oleh sahabat yang berasal dari beliau. Pada tahapan ini juga, kegiatan kritik hadits tersebut sebenarnya hanyalah merupakan konfirmasi dan suatu proses konsolidasi agar hati menjadi tenteram dan mantap, sebagaimana halnya kasus yang dialami Nabi Ibrahim AS, yang telah dijelaskan oleh QS 2, Al-Baqarah : 260, dan bukan karena tidak mempercayai pemberitaan sahabat, sebab sahabat dalam pandangan ulama hadits tidak bersifat pembohong dan tidak saling membohongi antar satu terhadap yang lainnya.
Diantara kritik hadits dalam pengertian di atas, adalah ; hadits yang mengisahkan seorang laki-laki yang datang dari daerah pedalaman mengunjungi Rasul SAW yang ketika itu sedang berkumpul bersama para sahabat beliau. Kedatangan laki-laki tersebut yang di dalam riwayat Bukhari disebutkan bernama Dhiman ibn Tsa’labah, adalah dalam rangka mengkonfirmasikan berita yang dibawa oleh seorang sahabat utusan Rasul SAW. Diantara teks dialog tersebut adalah :




1. Pusat Penelitian Hadits di Madinah
Di Madinah, sebagaimana dijelaskan oleh ibn Hibban, muncul beberapa kritikus hadits terkemuka dari kalangan Tabi’in yang mengikuti jejak ‘Umar dan Ali dalam meneliti riwayat-riwayat hadits. Diantara mereka adalah :
a. Sa’ad ibn al-Musayyab (w. 93 H),
b. Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar (w. 106 H),
c. Salim ibn ‘Abd Allah ibn ‘Umar (w. 106 H),
d. ‘Alo ibn al-Hussain ibn ‘Ali (w. 93 H),
e. Abu Salamah ibn ‘Abd al-Rahman ibn ‘Auf (w. 94 H),
f. ‘Abd Allah ‘Abd Allah ibn ‘Utbah,
g. Kharijah ibn Zaid ibn Tasbit (w. 100 H),
h. ‘Urwah ibn al-Jubair ibn al-‘Awam (w. 94 H),
i. Abu Bakar ibn ‘Abd al-Rahman ibn al-Hadits ibn Hisyam (w. 94 H),
j. Sulaiman ibn Yasar (w. 100 H).

Pada umumnya mereka adalah para ulama dan kritikus hadits abad pertama Hijriah, meskipun ada sebagian kecil yang masih hidup sampai awal adab kedua.
Generasi tersebut di atas, selanjutnya melahirkan pula beberapa kritikus al-hadits dari generasi abad ke – 2 H, seperti :

1. Al-Zuhri (w. 124 H)
2. Yahya ibn Sa’id al0Anshari,
3. Hisyam ibn ‘Urwah
4. Sa’ad ibn Ibrahim


2. Pusat Penelitian Hadits di Irak
Di Irak kegiatan penelitian dan kritik hadits telah digalakkan pada abad pertama hijriah, Al-Tarmidzi menyebutkan telah muncul beberapa tokoh Tabi’in yang meneliti tentang keadaan Rijal (para perawi) hadits, seperti :
a. Al-Hasan al-Bashri (w. 110 H)
b. Thawus
c. Sa’id ibn Jubair
d. Ibrahim al-Nukha’i
e. Amir al Sya’bi
f. Ibn Sirin (w. 110 H).

Ibn Rajab menyebutkan bahwa ibn Sirin adalah ulama pertama yang tidak melakukan kritik rijal hadits serta melakukan pemisahan antara perawi yang tsiqat dari yang tidak tsiqat.
1) Sufyan ibn Sa’id al-Tsauri (97 – 161 H) di Kuffah,
2) Malik ibn Anas (93 – 179 H) di Madinah,
3) Syu’bah ibn al – Hajjaj (83 – 100 H) di Wasith,
4) ‘Abd al-Rahman ibn ‘Amr al-Auza’i (88 – 158 H) di Beirut,
5) Hammad ibn Salamah (w. 167 H) di Basrah,
6) Al-Laits ibn Sa’d (w. 175 H) di Mesir,
7) Hammad ibn Zaid (w. 179 H) di Mekkah,
8) Sufyan ibn ‘Uyainah (107 – 198 H) di Mekkah,
9) ‘Abd Allah ibn al-Mubarak (118 – 181 H) dari Marw,
10) Yahya ibn Sa’id a;-Qaththan (w. 198 H) dari Basrah,
11) Waki’ ibn al-Jarrah (w. 196 H) dari Kuffah,
12) ‘Abd al-Rahman ibn Mahdi (w. 198 H) dari Basrah,
13) Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (w. 204 H) dari Mesir, dan lain-lain.

Dari sejumlah nama di atas, maka yang paling terkenal adalah Syu’bah, Yahya ibn Sa’id dan ibn Mahdi.
Para ulama di atas selanjutnya melahirkan sejumlah murid yang terkenal dalam lapangan kritik hadits, diantara mereka adalah :
1) Yahya ibn Ma’in (w. 233 H) dari Baghdad,
2) ‘Ali ibn al-Madini (w. 234 H) dari Basrah,
3) Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) dari Baghdad,
4) Abu Bakr ibn Abu Syaibah (w. 235 H) dari Wasith,
5) Ishaw ibn Rahwaih (w. 238 H) dari Marw,
6) ‘Ubaid Allah ibn ‘Umar al-Qawariri (w. 235 H) dari Basrah
7) Zuhair ibn Harb (w. 234 H) dari Baghdad.
Dari para ulama yang disebutkan di atas lahir pula sejumlah ulama hadits yang terkenal dalam bidang kritik hadits yang terkenal dalam bidang kritik hadits, dan periode mereka bersama-sama dengan guru mereka adalah merupakan periode puncak untuk titik kulminasi dari studi dan kritik hadits. Para ulama tersebut adalah :
1) Muhammad ibn Yahya ibn ‘Abd Allah al-Dzuhali al-Naisaburi (w. 258 H / 870 M),
2) ‘Abd Allah ibn ‘Abd al-Rahman al-Darimi (181 – 255 H / 797 – 896 M),
3) Abu Zur’ah ‘Ubaid Allah ibn ‘Abd al-Karim ibn Yazid al-Razi (200 – 264 H / 815 – 878 M),
4) Muhammad ibn Ism’il al-Ja’fi al –Bukhari (194 – 256 H / 809 – 869 M),
5) Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi (206 – 261 H / 821 – 875 M),
6) Abu Dawud Sulaiman ibn al-Asy’ats al-Sijistan (w. 275 H / 888 M),
7) Ahmad ibn Syu’aib.

Setelah mereka, lahir pula kritikus hadits seperti Muhammad ibn ‘Isa ibn Saurah al-Tirmidzi (210 – 279 H / 825 – 892 H), Ahmad ibn ‘Amr ibn ‘Abd al-Khaliq Abu Bakr al-Bazzar (w. 292 H 905 M), Ibrahim ibn Ishaq al-Harbi (198 – 285 H / 814 – 898 M), ‘Utsman ibn Sa’id al-Tamimi al-Sijistani al-Darimi (200 – 280 H/816-893 M).

A. Tujuan dan Manfaat Penelitian Sanad dan Matan
Yang menjadi objek kajian dalam kritik atau penelitian hadits adalah. Pertama, pembahasan tentang para perawi yang menyampaikan riwayat hadits atau yang dikenal dengan sebutan sanad. Kedua, pembahasan materi atau matan hadits itu sendiri.
Dengan demikian, maka penelitian hadits dapat dibagi dua, yaitu penelitian sanad dan penelitian matan. Penelitian sanad sering juga disebut dengan kritik ekstern atau al-naqd al-khariji, sedangkan penelitian matan disebut dengan kritik intern atau al-naqd al-dakhili.


B. Faktor-faktor Yang Mendorong Penelitian Sanad dan Matan
1. Kedudukan hadits sebagai sumber ajaran Islam.
2. Tidak seluruh hadits dituliskan pada masa Nabi SAW.
3. Timbulnya kegiatan pemalsuan hadits.
4. Lamanya masa Pengkodifikasian Hadits.
5. Beragamnya Metode Penyusunan Kitab-Kitab Hadits.
6. Adanya Periwayatan Hadits Secara Makna.

C. Bagian-bagian Yang Harus Diteliti
1. Sanad hadits.
Untuk mengetahui ke dhabith-an seorang perawi hadits, dapat dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut :
a) Berdasarkan kesaksian atau pengakuan ulama yang sezaman dengannya.
b) Berdasarkan kesesuaian riwayat yang disampaikannya dengan riwayat para perawi lain yang tsiqat atau yang telah dikenal ke dhabith – annya.
c) Apabila dia sekali-kali mengalami kekeliruan, hal tersebut tidaklah merusak ke dhabith annya, namun apabila sering, maka tidak agi disebut sebagai seorang yang dhabith dan riwayatnya tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.

2. Matan hadits
a. Perbandingan hadits dengan al-qur’an
b. Perbandingan beberapa riwayat tentang suatu hadits, yaitu perbandingan antara satu riwayat dengan riwayat lainnya.
c. Perbandingan antara matan suatu hadits dengan hadits yang lain.
d. Perbandingan antara matan suatu hadits dengan berbagai kejadian yang dapat diterima akal sehat, pengamatan panca indera atau berbagai peristiwa sejarah.
Posting Terkait lainnya:
makalah

* Ciri-Ciri Masa Puber Di Tinjau Dari Psikologis
* Biografi Imam Abu Hanifah
* Budi Daya Pisang - (Menanam Pisang)
* Metode Penelitian - Kerangka
* Vitamin A dan Manfaatnya
* Dampak - dampak bagi Wanita Menopause
* Perubahan yang terjadi pada menopause
* Tahap - Tahap dalam Menopause
* Pengertian Menopause
* Hari Valentine (Penelitian) - Pengertian Valentine day
* Biografi Imam Malik
* Perkembangan Islam Di Indonesia Pada Masa Belanda
* Pengertian Undian Berhadiah - makalah
* pengertian perlombaan - makalah
* Undian Berhadiah - makalah
* Fiqih Munakahat - Makalah
* Makalah (Pengertian) tentang Syirik dan Riya'
* makalah tentang gadai (Ar-Rahn) dan pengertiannya
* makalah tentang Hiwalah dan pengertiannya
* makalah tentang Hiwalah dan pengertiannya
* makalah ariyah dan pengertiannya
* makalah psikologi agama dan Pengertiannya
* Biografi Imam Ibnu Majjah
* makalah psikologi perkembangan bayi neonat
Baca Terusannya »»  

Makalah Fiqih Munakahat

Makalah Fiqih Munakahat

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam usaha meleburkan suatu bentuk hukum dalam dunia hukum Islam Indonesia. Tentunya kita ingin mengetahui lebih dalam darimana asal konsep hukum yang diadopsi oleh Departemen Agama RI tersebut yang kemudian menjadi produk hukum yang lazim disebut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, dan diantara materi bahasannya adalah rukun dan syarat perkawinan yang akan coba kita pelajari perbandingannya dengan fikih munakahat.
Terpenuhinya syarat dan rukun suatu perkawinan, mengakibatkan diakuinya keabsahan perkawinan tersebut baik menurut hukum agama/fikih munakahat atau pemerintah (Kompilasi Hukum Islam).Bila salah satu syarat atau rukun tersebut tidak terpenuhi maka mengakibatkan tidak sahnya perkawinan menurut fikih munakahat atau Kompilasi Hukum Islam, menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan salah satunya.
Berawal dari garis perbandingan antara kedua produk hukum tersebut, pemakalah mencoba membahas perbandingan antara keduanya sehingga dapat diketahui lebih dalam hubungan antara keduanya.





BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Nikah
secara bahasa : kumpulan, bersetubuh, akad.
secara syar’i : dihalalkannya seorang lelaki dan untuk perempuan bersenangg-senang, melakukan hubungan seksual, dll .

Hukum Nikah
Para fuqaha mengklasifikasikan hukum nikah menjadi 5 kategori yang berpulang kepada kondisi pelakunya :
Ø Wajib, bila nafsu mendesak, mampu menikah dan berpeluang besar jatuh ke dalam zina.
Ø Sunnah, bila nafsu mendesak, mampu menikah tetapi dapat memelihara diri dari zina.
Ø Mubah, bila tak ada alasan yang mendesak/mewajibkan segera menikah dan/atau alasan yang mengharamkan menikah.
Ø Makruh, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah tetapi tidak merugikan isterinya.
Ø Haram, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah sehingga merugikan isterinya.

A. TUJUAN DAN HIKMAH NIKAH
Tujuan Nikah ditinjau dari:
TUJUAN FISIOLOGIS
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan sarana berteduh yang baik & nyaman.
2. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan kosumsi makan-minum-pakaian yang memadai.
3. Tempat suami-isteri dapat memenuhi kebutuhan biologisnya.

TUJUAN PSIKOLOGIS
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Tempat semua anggota keluarga diterima keberadaannya secara wajar & apa adanya.
2. Tempat semua anggota keluarga mendapat pengakuan secara wajar dan nyaman.
3. Tempat semua anggota keluarga mendapat dukungan psikologis bagi perkembangan jiwanya.
4. Basis pembentukan identitas, citra dan konsep diri para anggota keluarga.

TUJUAN SOSIOLOGIS
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Lingkungan pertama dan terbaik bagi segenap anggota keluarga.
2. Unit sosial terkecil yang menjembatani interaksi positif antara individu anggota keluarga dengan masyarakat sebagai unit sosial yang lebih besar.

TUJUAN DA’WAH
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Menjadi obyek wajib da’wah pertama bagi sang da’i.
2. Menjadi prototipe keluarga muslim ideal (bagian dari pesona islam) bagi masyarakat muslim dan nonmuslim.
3. Setiap anggota keluarga menjadi partisipan aktif-kontributif dalam da’wah.
4. Memberi antibodi/imunitas bagi anggota keluarga dari kebatilan dan kemaksiatan

Islam tidak mensyari’atkan sesuatu melainkan dibaliknya terdapat kandungan keutamaan dan hikmah yang besar. Demikian pula dalam nikah, terdapat beberapa hikmah dan maslahat bagi pelaksananya :
1. Sarana pemenuh kebutuhan biologis (QS. Ar Ruum : 21)
2. Sarana menggapai kedamaian & ketenteraman jiwa (QS. Ar Ruum : 21)
3. Sarana menggapai kesinambungan peradaban manusia (QS. An Nisaa’ : 1, An Nahl : 72)
Rasulullah berkata : “Nikahlah, supaya kamu berkembang menjadi banyak. Sesungguhnya saya akan membanggakan banyaknya jumlah ummatku.” (HR. Baihaqi)
4. Sarana untuk menyelamatkan manusia dari dekadensi moral.
Rasulullah pernah berkata kepada sekelompok pemuda : “Wahai pemuda, barang siapa diantara kalian mampu kawin, maka kawinlah. Sebab ia lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Namun jika belum mampu, maka berpuasalah, karena sesungguhnya puasa itu sebagai wija’ (pengekang syahwat) baginya.” (HR Bukhari dan Muslim dalam Kitab Shaum)

B. PEMINANGAN (KHITBAH) SEBELUM PELAKSANAAN PERNIKAHAN
Definisi Peminangan.
Beberapa ahli Fiqih berbeda pendapat dalam pendefinisian peminangan. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa pinangan (khitbah­) adalah pernyataan seorang lelaki kepada seorang perempuan bahwasanya ia ingin menikahinya, baik langsung kepada perempuan tersebut maupun kepada walinya. Penyampaian maksud ini boleh secara langsung ataupun dengan perwakilan wali.
Adapun Sayyid Sabiq, dengan ringkas mendefinisikan pinangan (khitbah) sebagai permintaan untuk mengadakan pernikahan oleh dua orang dengan perantaraan yang jelas. Pinangan ini merupakan syariat Allah SWT yang harus dilakukan sebelum mengadakan pernikahan agar kedua calon pengantin saling mengetahui.
Amir Syarifuddin mendefinisikan pinangan sebagai penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan. Peminangan disyariatkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah.
Al-hamdani berpendapat bahwa pinangan artinya permintaan seseorang laki-laki kepada anak perempuan orang lain atau seseorang perempuan yang ada di bawah perwalian seseorang untuk dikawini, sebagai pendahuluan nikah.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pinangan (khitbah) adalah proses permintaan atau pernyataan untuk mengadakan pernikahan yang dilakukan oleh dua orang, lelaki dan perempuan, baik secara langsung ataupun dengan perwalian. Pinangan (khitbah) ini dilakukan sebelum acara pernikahan dilangsungkan.

Dasar dan Hukum Pinangan
Dari Mughirah R.A., sesungguhnya ia pernah meminang seseorang perempuan, lalu Nabi SAW. Bersabda kepadanya,” Lihatlah perempuan itu dahulu karena sesungguhnya melihat itu lebih cepat membawa kekekalan kecintaan antara keduanya.” (H.R. Nasa’i dan Tirmizi)
Dari Abu Hurairah R.A., dia berkata,” Aku duduk di dekat Nabi SAW. lalu datang seorang laki-laki kepada beliau dan bercerita bahwa ia akan menikahi seseorang perempuan dari kaum Anshar. Rasulullah lalu bersabda,”Sudahkah engkau lihat wajahnya?” laki-laki itu menjawab, “belum”. Rasulullah bersabda lagi,” pergi dan lihatlah karena sesungguhnya pada wajah kaum Anshar itu mungkin ada sesuatu yang menjadi cacat.” (H.R. Muslim dan Nasa’i)
Memang terdapat dalam al-qur’an dan dalam banyak hadis Nabi yang membicarakan hal peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau larangan melakukan peminangan, sebagaiman perintah untuk mengadakan perkawinan dengan kalimat yang jelas, baik dalam al-qur’an maupun dalam hadis Nabi. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya, dalam arti hukumannya mubah.
Akan tetapi, Ibnu Rusyd dengan menukil pendapat imam Daud Al-Zhahiriy, mengatakan bahwa hukum pinangan adalah wajib. Ulama ini mendasarkan pendapatnya pada hadis-hadis nabi yang menggambarkan bahwa pinangan (khitbah) ini merupakan perbuatan dan tradisi yang dilakukan nabi dalam peminangan itu.
Hikmah Peminangan
Ada beberapa hikmah dari prosesi peminangan, diantaranya:
Wadah perkenalan antara dua belah pihak yang akan melaksanakan pernikahan. Dalam hal ini, mereka akan saling mengetahui tata etika calon pasangannya masing-masing, kecendrungan bertindak maupun berbuat ataupun lingkungan sekitar yang mempengaruhinya. Walaupun demikian, semua hal itu harus dilakukan dalam koridor syariah. Hal demikian diperbuat agar kedua belah pihak dapat saling menerima dengan ketentraman, ketenangan, dan keserasian serta cinta sehingga timbul sikap saling menjaga, merawat dan melindungi.
Sebagai penguat ikatan perkawinan ynag diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat saling mengenal. Bahwa Nabi SAW berkata kepada seseorang yang telah meminang perempuan:” melihatlah kepadanya karena yang demikian akan lebih menguatkan ikatan perkawinan.
Macam-Macam Peminangan
Ada beberapa macam peminangan, diantaranya sebagai berikut:

1. Secara langsung yaitu menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang sehingga tidak mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan, seperti ucapan,”saya berkeinginan untuk menikahimu.”
2. Secara tidak langsung yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau dengan istilah kinayah. Dengan pengertian lain ucapan itu dapat dipahami dengan maksud lain, seperti pengucapan,”tidak ada orang yang tidak sepertimu.”

Perempuan yang belum kawin atau sudah kawin dan telah habis pula masa iddahnya boleh dipinang dengan ucapan langsung aau terus terang dan boleh pula dengan ucapan sindiran atau tidak langsung. Akan tetapi bagi wanita yang masih punya suami, meskipun dengan janji akan dinikahinya pada waktu dia telah boleh dikawini, tidak boleh meminangnya dengan menggunakan bahasa terus terang tadi.
Hal-Hal yang Berkaitan dengan Peminangan.

1. Norma Kedua Calon Pengantin Setelah Peminangan.

Peminangan (khitbah) adalah proses yang mendahului pernikahan akan tetapi bukan termasuk dari pernikahan itu sendiri. Pernikahan tidak akan sempurna tanpa proses ini, karena peminangan (khitbah) ini akan membuat kedua calon pengantin akan menjadi tenang akibat telah saling mengetahui.
Oleh karena itu, walaupun telah terlaksana proses peminangan, norma-norma pergaulan antara calon suami dan calon istri masih tetap sebagaimana biasa. Tidak boleh memperlihatkan hal-hal yang dilarang untuk diperlihatkan.

2. Peminangan Terhadap Seseorang yang Telah Dipinang.

Seluruh ulama bersepakat bahwa peminangan seseorang terhadap seseorang yang telah dipinang adalah haram. Ijma para ulama mengatakan bahwa peminangan kedua, yang datang setelah pinangan yang pertama, tidak diperbolehkan. Hal tersebut terjadi apabila:

* Perempuan itu senang kepada laki-laki yang meminang dan menyetujui pinangan itu secara jelas (Sharahah) atau memberikan izin kepada walinya untuk menerima pinangan itu.
* Pinangan kedua datang tidak dengan izin pinangan pertama.
* Peminang pertama belum membatalkan pinangan.

Hal ini sesuai dengan hadis nabi yang berbunyi,” Janganlah kalian membeli sesuatu pembelian saudara kalian, dan janganlah kalian meminang pinangan saudara kalian, kecuali dengan izinnya.”
Seluruh imam bersepakat bahwa hadis diatas berlaku bagi pinangan yang telah sempurna. Hal tersebut terjadi agar tidak ada yang merasa sakit hati satu sama lain. Adapun mengenai pinangan yang belum sempurna, dengan pengertian masih menunggu jawaban, beberapa ulama berbeda pendapat. Hanafiah mengatakan, pinangan terhadap seseorang yang sedang bingung dalam menentukan keputusan adalah makruh. Hal ini bertentangan dengan pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa sesungguhnya perbuatan itu tidak haram. Pendapat ini berdasarkan peristiwa Fatimah binti Qois yang dilamar oleh tiga orang sekaligus, yaitu Mu’awiyah, Abu Jahim bin Huzafah dan Usamah bin Zaid. Hal itu terjadi setelah selesainya masa iddah Fatimah yang telah ditalak oleh Abu Umar bin Hafsin.
Walaupun demikian, pendapat Hanafi lebih kuat landasannya karena sesuai dengan tata perilaku islam yang mengajarkan solidaritas. Peminangan yang dilakukan terhadap seseorang yang sedang bingung dalam mempertimbangkan keputusan lebih berdampak pada pemutusan silaturrahim terhadap peminang pertama dan akan mengganggu psikologis yang dipinang.

3. Orang-Orang yang Boleh Dipinang.

Pada dasarnya, seluruh orang yang boleh dinikahi merekalah yang boleh dipinang. Sebaliknya, mereka yang tidak boleh untuk dinikahi, tidak boleh pula untuk dipinang. Dalam hal ini, ada syarat agar pinangan diperbolehkan.

* Bukan Orang-Orang yang Dilarang Menikahinya.
* Bukan Orang-Orang yang Telah Dipinang Orang Lain.
* Tidak Dalam Masa ‘Iddah
3. Batas-Batas yang Boleh Dilihat Ketika Khitbah

Dalam hal ini, para ulama terbagi menjadi empat bagian:

* Hanya muka dan telapak tangan. Banyak ulama fiqih yang berpendapat demikian. Pendapat ini berdasarkan bahwa muka adalah pancaran kecantikan atau ketampanan seseorang dan telapak tangan ada kesuburan badannya.
* Muka, telapak tangan dan kaki. Pendapat ini diutarakan oleh Abu Hanifah.
* Wajah, leher, tangan, kaki, kepala dan betis. Pendapat ini dikedepankan para pengikut Hambali.
* Bagian-bagian yang berdaging. Pendapat ini menurut al-Auza’i.
* Keseluruh badan. Pendapat ini dikemukakan oleh Daud Zhahiri. Pendapat ini berdasarkan ketidakadaan hadis nabi yang menjelaskan batas-batas melihat ketika meminang.
4. Waktu dan Syarat Melihat Pinangan

Imam Syafi’i berpendapat bahwa seorang calon pengantin, terutama laki-laki, dianjurkan untuk melihat calon istrinya sebelum pernikahan berlangsung. Dengan syarat bahwa perempuan itu tidak mengetahuinya. Hal itu agar kehormatan perempuan tersebut terjaga. Baik dengan izin atau tidak.
Imam Maliki dan Imam Hambali mengatakan bahwa melihat pinangan adalah disaat kebutuhan mendesak. Itu disebabkan agar tidak menimbulkan fitnah dan menimbulkan syahwat.
Wahbah Zuhaili mengatakan, pada dasarnya melihat pinangan itu diperbolehkan asalkan tidak dengan syahwat.

C. PELAKSANAAN PERNIKAHAN (AKAD NIKAH)
PENGERTIAN AKAD NIKAH
secara bahasa : akad = membuat simpul, perjajian, kesepakatan; akad nikah = mengawinkan wanita.
secara syar’i : Ikrar seorang pria untuk menikahi/mengikat janji seorang wanita lewat perantara walinya, dengan tujuan
a) hidup bersama membina rumah tangga sesuai sunnah Rasulullah saw.
b) memperoleh ketenangan jiwa.
c) menyalurkan syahwat dengan cara yang halal
d) melahirkan keturunan yang sah dan shalih.

RUKUN DAN SYARAT SAH NIKAH
Akad nikah tidak akan sah kecuali jika terpenuhi rukun-rukun yang enam perkara ini :
1. Ijab-Qabul
Islam menjadikan Ijab (pernyataan wali dalam menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai pria) dan Qabul (pernyataan mempelai pria dalam menerima ijab) sebagai bukti kerelaan kedua belah pihak. Al Qur-an mengistilahkan ijab-qabul sebagai miitsaaqan ghaliizhaa (perjanjian yang kokoh) sebagai pertanda keagungan dan kesucian, disamping penegasan maksud niat nikah tersebut adalah untuk selamanya.
Syarat ijab-qabul adalah :
a) Diucapkan dengan bahasa yang dimengerti oleh semua pihak yang hadir.
b) Menyebut jelas pernikahan & nama mempelai pria-wanita
2. Adanya mempelai pria.
Syarat mempelai pria adalah :
a) Muslim & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka); lihat QS. Al Baqarah : 221, Al Mumtahanah : 9.
b) Bukan mahrom dari calon isteri.
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.

3. Adanya mempelai wanita.
Syarat mempelai wanita adalah :
a) Muslimah (atau beragama samawi, tetapi bukan kafirah/musyrikah) & mukallaf; lihat QS. Al Baqarah : 221, Al Maidah : 5.
b) Tidak ada halangan syar’i (tidak bersuami, tidak dalam masa ‘iddah & bukan mahrom dari calon suami).
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
4. Adanya wali.

Syarat wali adalah :

a) Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b) ‘Adil
c) Tidak dipaksa.
d) Tidaksedang melaksanakan ibadah haji.

Tingkatan dan urutan wali adalah sebagai berikut:
a) Ayah
b) Kakek
c) Saudara laki-laki sekandung
d) Saudara laki-laki seayah
e) Anak laki-laki dari saudara laki – laki sekandung
f) Anak laki-laki dari saudara laki – laki seayah
g) Paman sekandung
h) Paman seayah
i) Anak laki-laki dari paman sekandung
j) Anak laki-laki dari paman seayah.
k) Hakim

5. Adanya saksi (2 orang pria).

Meskipun semua yang hadir menyaksikan aqad nikah pada hakikatnya adalah saksi, tetapi Islam mengajarkan tetap harus adanya 2 orang saksi pria yang jujur lagi adil agar pernikahan tersebut menjadi sah. Syarat saksi adalah

a) Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b) ‘Adil
c) Dapat mendengar dan melihat.
d) Tidak dipaksa.
e) Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab-qabul.
f) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.

6. Mahar.
Beberapa ketentuan tentang mahar :

a) Mahar adalah pemberian wajib (yang tak dapat digantikan dengan lainnya) dari seorang suami kepada isteri, baik sebelum, sesudah maupun pada saat aqad nikah. Lihat QS. An Nisaa’ : 4.
b) Mahar wajib diterimakan kepada isteri dan menjadi hak miliknya, bukan kepada/milik mertua.
c) Mahar yang tidak tunai pada akad nikah, wajib dilunasi setelah adanya persetubuhan.
d) Mahar dapat dinikmati bersama suami jika sang isteri memberikan dengan kerelaan.
e) Mahar tidak memiliki batasan kadar dan nilai. Syari’at Islam menyerahkan perkara ini untuk disesuaikan kepada adat istiadat yang berlaku. Boleh sedikit, tetapi tetap harus berbentuk, memiliki nilai dan bermanfaat. Rasulullah saw senang mahar yang mudah dan pernah pula




DAFTAR PUSTAKA

- Dewantoro Sulaiman, SE, Agenda Pengantin, Hidayatul Insan, Solo, 2002
- Rasjid, Sulaiman, H., Fikh Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 1996
- Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana: Jakarta. 2007
- Al-Hamdani, Risalah an-Nikah, Pustaka Amani: Jakarta. 2002
Posting Terkait lainnya:
makalah

* Ciri-Ciri Masa Puber Di Tinjau Dari Psikologis
* Biografi Imam Abu Hanifah
* Budi Daya Pisang - (Menanam Pisang)
* Metode Penelitian - Kerangka
* Vitamin A dan Manfaatnya
* Dampak - dampak bagi Wanita Menopause
* Perubahan yang terjadi pada menopause
* Tahap - Tahap dalam Menopause
* Pengertian Menopause
* Hari Valentine (Penelitian) - Pengertian Valentine day
* Biografi Imam Malik
* Perkembangan Islam Di Indonesia Pada Masa Belanda
* Pengertian Undian Berhadiah - makalah
* pengertian perlombaan - makalah
* Undian Berhadiah - makalah
* Sanad dan Matan Hadits
* Makalah (Pengertian) tentang Syirik dan Riya'
* makalah tentang gadai (Ar-Rahn) dan pengertiannya
* makalah tentang Hiwalah dan pengertiannya
* makalah tentang Hiwalah dan pengertiannya
* makalah ariyah dan pengertiannya
* makalah psikologi agama dan Pengertiannya
* Biografi Imam Ibnu Majjah
* makalah psikologi perkembangan bayi neonatal
Baca Terusannya »»  

Makalah fiqih BAB WALI NIKAH

KATA PENGANTAR



Segalapuji bagi Allah Tuhansemesta alam yang telah melimpahkan rahmatnya kepada kita sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini degan sebaik –baiknya


Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita nabi muhammad saw yang telah menjadi suri tauladan bagi umat manusia sehingga sampai detik ini kami masih merasakan indahnya iman dan islam.


Taklupa kami ucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah membantu terselesaikanya makalah ini .


Mungkin makalah ini kurang dari sempurna jadi kami mohon maaf yang sebesar-besarnya


makalah ini dibuat untuk tugas kuliyah mata kuliyah FIQIH

Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang mau membacanya sehingga ini menjadi amal jariah bagi kami.


Kami mohon saran dan kritik yang membagun sehingga kami dapat memberikan yang terbaik lagi. Untuk kelanjutan studi kami.


DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR…………………………………………………………

DAFTAR ISI…………………………………………………………………..

PENGERTIAN DAN SYARAT WALI

A.PENGERTIAN WALI………………………………………………

B.SYARAT –SYARAT WALI………………………………………..

B.MACAM- MACAM WALI………………………………………….

WALI MUJBIR…………………………………………………………

WALI HAKIM…………………………………………………………

C.GHARIBNYA WALI………………………………………………

DIAKADKAN 2 ORANG WALI…………………………………….

PEREMPUAN TIDAKPUNYA WALI DAN TIDAK BISA KE HAKIM

PERKAWINAN PEREMPUAN YATIM ……………………………..

IJAB QOBUL DENGAN AQID …………………………………………

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………..






BAB I

PENGERTIAN DAN SYARAT WALI



A.PENGERTIAN WALI


Wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada oranglain sesuai dengan bidang hukumnya.


Wali ada yang umum dan yang khusus. Yang khusus , ialah berkenaan dengan dengan manusia dan harta benda. Disini yang dibicarakan wali terhadap manusia, yaitu masalah perwalian dalam perkawinan.


Jumhur ulama’ berpendapat seperti ; Malik .Tsauri Laits, dan Syafi’I berpendapat bahwa Wali dalam pernikahan adalah ahli waris , tetapi bukan paman dari ibu,bini dari ibu,saudara seibu dan keluarga dzawil arham(……………………).


Syafi’I berkata : (“nikah seorang wanita tidak dapat dilakukan , kecuali dengan pernyataan wali Qorib (dekat). Jika ia tidak ada , dengan wali yang jauh . dan jika ia tidak ada , dengan hakim.”2)


Laki-laki boleh mengawini perempuan yang berada dalam perwaliannya tanpa menunggu persetujuan wali lainya, asal saja perempuan tersebut rela menjadi isterinya. Dari sa’id bin abi khalid dari ummu hukais binti Qaridh, ia berkata kepada Abdur Rahman bin Auf ; lebih dari seorang yang telah datang meminang saya. Karena itu kawinkanlah saya dengan salah seorang yang engkau sukai. Kemudian Abdur Rohman bertanya; juga berlaku bagi saya?” ia menjawab ; ya. Lalu kata Abdur Rohman:”kalau begitu aku kawinkan diriku denganmu.”



B.SYARAT –SYARAT WALI

Adapun syarat-syarat wali ialah;

1.merdeka,

2.berakal sehat

3.dewasa,

budak, orang gila dan anak kecil tidak dapat menjadi wali, karena orang-orang tersebut tidak berhak mewalikan dirinya sendiri apalagi terhadap orang lain.

4. untuk menjadi wali adalah beragama islam, jika yang dijadikan wali tersebut orang islam pula sebab yang bukan islam tidak boleh menjadi walinya orang islam . Allah telah berfirman:




“dan Allah tidak akan sekali-kali memberikan jalan kepada orang kafir menguasai orang-oarang mukmin.”(An-Nisa’;141)


Seorang wali tidak disyaratkan adil. Jadi seorang yang durhaka tidak kehilangan hak menjadi wali dalam perkawinan, kecuali kalau kedurhakaannya melampaui batas-batas kesopanan yang berat.


karena wali tersebut jelas tidak menentramkan jiwa orang-orang yang diurusnya, karena itu haknya menjadi wali menjadi hilang.


Banyak ulama’ berpendapat bahwa seorang wanita tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri atau orang lain . jadi perkawinan yang diwalikan oleh wanita adalah tidak sah. Karna wali menjadi syarat sahnya ‘aqad, sedangkan yang menjadi ‘aqid adalah wali itu sendiri. Mereka beralasan ;firman Allah




“hendaklah kamumkawini orang-orang yang meranda diantaramu dan orang-orang yang shaleh diantara hambamu yang laki-laki dan hambamu yang perempuan” (An-Nur; 32)





“Dan janganlah kamu nikahkan wanita-wanita mukminat dengan pria-pria musyrik sebelum mereka beriman “ (Al-Baqoroh :221)


Inti alasan pada kedua ayat tersebut adalah bahwa Allah menyerahkan perkara perkawinan kepada fihak pria dan bukan kepada kaum wanita . jadi seolah-olah Allah berfirman;”wahai para wali ! janganlah kamu kawinkan wanita-wanita yang kamu urus dengan pria-pria yang masih musyrik”




“Dari abu musa , sesungguhnya Rosulullah saw . bersabdah ; “tidak sah nikah tanpa wali.”

( HR. Ahmad, Abu daud, Tirmidzi, Ibnu Hiban dan Hakim dan di sahkan keduanya)


Pernyataan tidak sah dalam hadis ini maksudnya “tidak sah”, yang merupakan arti terdekat darimpokok persoalan ini.jadi nikah tanpa wali adalah batal, seperti yang akan disebutkan dalam hadis ‘Aisyah berikutnya.


B.MACAM_MACAM WALI


Wali mujbir

Bagi orang yang kehilangan kemampuannya, seperti orang gila, anak-anak yang masuh belum mencapai umur tamyiz boleh dilakukan wali mujbir atas dirinya , sebagaimana dengan orang –orang yang kurang kemampuannya, seperti anak-anak dan orang yang akalnya belum sempurna , tetapi belum tamyiz (abnormal)

Yang dimaksud dengan wali mujbir yaitu seorang yang berhak meng’aqadkan orang yang diwalikan diantara golongan tersebut tanpa menanyakan pendapat mereka lebih dahulu. Dan aqadnya berlaku juga bagi orang yang diwalikan tanpa melihat ridho atau tidaaknya .


WALI HAKIM

Wewenang wali berpindah ke tangan hakim , apabila;

1.ada pertentangan di antara wali-wali

2.bilamana walinya tak ada dalam pengertian mereka meninggal atau hilang atau karma gharib.

Jika perempuan dan laki-lakinya tak mau menanti, tak ada alas an untuk mengharuskan mereka menanti. Dalam sebuah hadis disebutkan;





“tiga perkara yang tidak boleh ditunda-tunda yaitu: sholat bila telah datang waktunya, jenazah bila telah siap, dan perempuan bila ia telah ditemukan pasanganya yang sepadan.”

(HR.Baihaqi dan lain-lain dari Ali r.a.)

sanadnya lemah.


C.GHARIBNYA WALI


Jika wali terdekat memenuhi syarat-syarat hadir dalam upacara “aqad-nikah tersebut maka wali yang jauh yang juga sama-sama hadir pada waktu itu tidak berhak menjadi wali . misal ; ayah hadir maka saudara laki-lakinya tidak dapat menjadi wali.

Bila wli terdekatnya gharib sedang peminang tak mau menunggu lebihlama pendapatnya maka hak perwaliannya berpindah dengan wali berikutnya. Hal ini agar tidak menyebabkan terganggunya kemaslahatan dan apabila wali yangyang gharib telah datang kemudian, ia tidak mempunyai hak untuk membatalkan tindakan wali pengantinya yang terdahulu . karna keghoribanya dipandang sama dengan ia tidak ada. Karena itu hak perwalian berpindah ke tangan wali berikutnya .pendapat mahzab hanafi


Dari pendapat syafi’i “bahwa apabila perempuan yang di’aqadkan oleh wali yang lebih jauh , sedang wali yang lebih dekat hadir , maka nikahnya batal . jika walinya yang lebih dekat gharib, wali berikutnya tidak berhak meng’aqadkannya dan yang meng’aqadkanya ialah hakim


Dalam “Bidayatul Mujtahid” dikatakan bahwa mengenal masalah ini imam malik sendiri mempunyai beberapa pendapat .

Pertama; jika walinya yang lebih jauh meng’aqadkan padahal wali yang lebih dekat hadir , maka pernikahan itu dibatalkan .

Kedua; nikahnya sah

Ketiga; wali yang lebih dekat berhak menerima dan membatalkan.

DIAKADKAN 2 ORANG WALI

Jika seorang perempuan diakadkan oleh dua orang wali baik kedua akad itu sama waktunya atau berlainan . dan jika keduanya akadnya sama waktunya maka akadnya batal . jika berlainan waktunya maka si perempuan menjadi istri yang pertama mengakadnya . dan ia harus dikembalikan pada orang yang mengakadnya pertama.

Dari samurah bahw Nabi saw. Bersabdah:




“siapa saja perempuan yang di’aqadkan /dinikahkan olrh dua wali , maka ia jadi istri yang pertama dari antara keduanya”

(HR.Ahmad dan Ash-habussunan.Disahkan Oleh Tirmidzi).






PEREMPUAN TIDAKPUNYA WALI DAN TIDAK BISA KE HAKIM

Qurtubi berkata ; jika perempuan yang tinggal ditempat yang tak ada sultan dan tidakpula mempunyai wali , maka penyelesaianya dapat ia serahkan pada tetanngganya yang dipercayai untuk mengak’aqadkanya


Syafi’I berpendapat seorang wanita yang ingim menikah dan ia tak punya wali maka di bias mewalikanya apada seseorang dan itu dibolehkan maka kedudukanya sama dengan walihakim.


PERKAWINAN PEREMPUAN YATIM

Aisyah , Ahmad, dan Abu Hanifah. Berpendapat seorang wanita yatim dapat dinikahkan sebelum ia balig dan yang melakukan ‘aqad atas dirinya adalah wali-walinya tetapi ia berhak khiyar(menolak) jika telah dewasa


Kalau Syafi’I berpendapat mengawinkan perempuan yatim yang belum dewasa adalah tidak sah . Rosulullah bersabdah: “perempuan yatim hendaknya dimintai persetujuan” sedangkan persetujuan itu ada perundingan sedangkan berunding dengan anak kecil dianggap tidak adagunanya.





IJAB QOBUL DENGAN AQID

Jika seseorang menjadi wali bagi laki-laki dan perempuan yang akan nika, maka ia boleh melakukan ‘aqadnya. Misalnya seorang datuk (kakek) mengawinkan cucu laki-laki serta cucu perempuan. Atau juga seorang kuasa boleh berbuat demikian




DAFTAR PUSTAKA


-Sasiq, sayyid. Fiqih sunnah, PT.Alma’arif bandung, 1990

-Uwaidah , syaikh kamil Muhammad. Fiqih wanita, pustaka Al-kausar Jakarta timur, 1998
Baca Terusannya »»  

Dawrah Fiqh Perempuan

Gerakan perempuan di manapun memiliki keunikan tersendiri. Tak terkecuali Indonesia. Salah satu keunikan itu adalah bertemunya kelompok perempuan tak berbasis agama dengan kelompok perempuan berbasis agama. Ini, seperti dikatakan Zainah Anwar, aktivis perempuan muslim dari Malaysia, telah menempatkan gerakan perempuan Islam di Indonesia pada posisi penting bahkan menjadi ’tolok ukur’ dalam diskursus Islam dan perempuan di dunia Islam.
Di Indonesia, isu perempuan menjadi memang isu penting dan masuk dalam wacana keislaman yang didiskusikan dalam institusi-institusi pendidikan Islam dari lembaga keagamaan formal seperti madrasah, STAIN, IAIN, UIN sampai lembaga keagamaan tradisional-informal seperti pesantren, majlis ta’lim dan kelompok pengajian. Dari institusi-institusi ini lahir para pejuang gerakan perempuan; sembari mereka menjadi aktivis organisasi-organisasi muslim di Indonesia. Pejuang gerakan perempuan bahkan juga lahir dari pesantren, sebuah institusi pendidikan Islam paling tua dan konvensional. Hal ini sulit ditemui di negara muslim lain, termasuk di Mesir yang menjadi lumbung intelektual muslim dunia.


Lebih jelasnya, pada saat ini wacana Islam dan pemberdayaan perempuan secara intensif disosialisasikan oleh institusi-institusi keislaman yang peduli pada pemberdayaan perempuan. Antara lain oleh Fatayat-Muslimat NU, Aisyiyah Muhammadiyah, Yayasan Rahima, PSW-PSW Perguruan Tinggi Islam, untuk menyebutkan beberapa. Kesemua institusi tersebut menggunakan pendekatan yang mirip: pemberdayaan perempuan dengan menggunakan argumentasi keagamaan.


Bila ditelusuri, kita bisa menemukan bahwa pendekatan ini berkembang di Indonesia menjelang konferensi kependudukan di Kairo tahun 1994. Pelopornya adalah Pusat Pemberdayaan Pesantren dan Masyarakat (P3M) melalui program Fiqh Annisa. Program ini dikembangkan di 6 kantong pesantren di Jawa dan Madura. Penggerak utamanya adalah Lies Marcoes Natsir dan Masdar F. Mas’udi.


Namun, sejauh ini sosialisasi atau pendidikan ’Islam dan pemberdayaan perempuan’ yang dilakukan institusi Islam lebih ditujukan kepada kalangan mereka sendiri. Atau tepatnya, bagi mereka yang memiliki latar belakang pendidikan Islam secara memadai. Antara lain komunitas pesantren, atau komunitas organisasi-organisasi Islam. Para partisipan kegiatan ini antara lain kyai/nyai dan tokoh masyarakat, kyai/nyai, guru dan ustadz pesantren, dosen-dosen perguruan tinggi Islam, aktivis organisasi Islam, para muballigh/muballighah atau penyelenggara negara urusan keagamaan seperti pegawai pencatatan nikah dan penyuluh di KUA.


Akibatnya, tidak semua aktivis perempuan akrab dengan pengetahuan dasar tentang Islam dan isu-isu perempuan. Padahal pada kenyataannya, hampir tidak mungkin membahas isu perempuan tanpa mengaitkan dengan persoalan keagamaan.


Untuk itulah, agar kesenjangan ini bisa diatasi, Fahmina-institute Cirebon mengawali inisiatif mengenalkan ’Islam perspektif perempuan’ kepada mereka yang tidak berlatar belakang pendidikan Islam. Wa bil khusush, kepada para aktivis perempuan yang memperjuangkan gerakan sosial keadilan gender.

Mengapa Aktivis Perempuan?


Islam di Indonesia memiliki kekuatan strategis. Pertama, penduduknya mayoritas Muslim dengan jumlah terbesar di dunia. Kedua, Islam diyakini banyak kalangan Muslim mampu menjadi alternatif jawaban atas segala persoalan masyarakat. Ketiga, Islam juga diyakini sebagai kesatuan sistem ajaran yang dapat membangun tatanan peradaban dunia yang manusiawi dan berkeadilan. Pendek kata, Islam, bagi banyak pihak, menjadi faktor penting yang harus dipertimbangkan untuk sebuah proses perubahan di Indonesia. Perubahan yang dimaksud tentu bukan saja perubahan pada tingkat politik struktural, melainkan yang lebih penting dan mendasar adalah perubahan sosial-kebudayaan, yang menyangkut paradigma, nilai, norma, dan ajaran-ajaran yang selama ini memandu alur pikir dan gerak masyarakat.
Dalam konteks ini, para aktivis perempuan yang kebetulan tidak berlatar belakang pendidikan Islam tampaknya seringkali mengalami kesulitan tatkala berhadapan dengan komunitas Muslim. Terlebih saat ini, ketika Islam sedang mengalami pasang naik. Situasi ini menuntut para aktivis untuk sedikit banyak mengenali isu-isu keislaman, terutama yang menyangkut isu perempuan dan keadilan gender. Di sinilah pentingnya pendidikan yang berorientasi pada penguatan wawasan keislaman bagi para aktivis perempuan. Hal demikian diharapkan menjadi bekal untuk menciptakan “bangunan pengetahuan dan tafsir keislaman” yang memihak pada keadilan gender. Di dalam pendidikan ini, diperkenalkan metode penelusuran terhadap fiqh (hukum Islam), sumber-sumber utama fiqh, pemikiran fiqh awal dan pemikiran fiqh terapan. Juga diperkenalkan metode pemaknaan yang adil gender dan pada tingkat tertentu dekonstruksi terhadap tafsir-tafsir dan pemahaman keislaman yang bias gender.

Apa itu Dawrah Fiqh Perempuan?


Fahmina-institute menamakan model pendidikan ini dengan istilah Dawrah Fiqh Perempuan. Sebagai pendidikan atau kursus Islam dan gender; dawrah ini ingin mengajak para partisipannya bisa membaca Islam dengan perspektif perempuan dan pada saat yang sama mengenalkan keadilan gender dengan perspektif bacaan Islam.


Dawrah secara literal berarti putaran, atau lingkaran. Dalam bahasa Arab, kata ini biasa digunakan untuk kegiatan belajar semacam kursus-kursus di luar model pendidikan sekolahan yang konvensional. Dalam dawrah ini, kita bisa mengenalkan model pendidikan, metode, teknik, cara, kurikulum dan para partisipan yang berbeda dari yang ada pada pendidikan model sekolahan. Dawrah Fiqh Perempuan, berarti kursus mengenai ajaran Islam dengan perspektif perempuan. Disebut fiqh, karena apa yang dikenal kebanyakan orang sebagai ajaran Islam, pada awalnya sebenarnya adalah merupakan fiqh, atau ijtihâd ulama dari sumber-sumber otoritatifnya. Fiqh yang dimaksud ini, termasuk juga tafsir terhadap ayat-ayat al-Qur’ân dan teks-teks hadits, serta ijtihâd dari gabungan antara teks-teks tersebut dengan tuntutan-tuntutan rasionalitas dan kontekstualitas.


Fiqh Perempuan sebenarnya bisa berarti tiga hal; pertama fiqh yang membahas isu-isu perempuan [fiqh tentang perempuan], kedua fikih yang membela dan menguatkan pemberdayaan perempuan [fiqh berperspektif perempuan] dan ketiga fiqh yang ditulis perempuan. Dalam Dawrah ini, Fiqh Perempuan lebih ditekankan pada makna yang kedua, yaitu fiqh yang berperspektif pemberdayaan perempuan. Namun begitu, modul ini tetap mengakomodasi makna yang pertama yaitu fiqh tentang isu perempuan, dan makna ketiga karena beberapa penulis modul ini juga perempuan. Dawrah Fiqh Perempuan bisa juga disebut sebagi Kursus Islam dan Gender.


Untuk menyebarkan manfaat dari Dawrah ini kepada masyarakat secara lebih luas, terutama para aktivis yang tidak sempat mengikuti kursus tersebut, maka diterbitkan modul Dawrah Fiqh Perempuan yang menjelaskan gagasan, metode, langkah-langkah, alat-alat bantu dan makalah-makalah yang mendukung penguatan wacana ‘Islam dan perspektif perempuan’. Modul ini bertujuan untuk memberikan panduan bagi mereka yang ingin menyelenggarakan kursus ‘Fiqh Perspektif Perempuan’ bagi para aktivis yang tidak berlatar belakang pendidikan Islam. Melalui modul ini, para partisipan Dawrah Fiqh Perempuan diharapkan dapat memahami prinsip dasar Islam yang adil gender, metodologi penafsiran untuk pemahaman keislaman yang adil gender. Lebih lanjut, mereka juga diharapkan memiliki keterampilan menggunakan metode tersebut untuk kepentingan aktivitas sehari-hari.


Modul Dawrah Fiqh Perempuan ini mencakup seluruh persoalan-persoalan teologis yang dihadapi gerakan perempuan, khususnya di Indonesia, yang didasarkan pada basis pengetahuan keagamaan pesantren. Digunakannya basis pengetahuan keagamaan pesantren, karena pesantren sampai saat ini masih menjadi rujukan strategis pengetahuan keagamaan masyarakat di Indonesia. Dengan model ini rancangan modul diklasifikasikan mengikuti basis pengetahuan pesantren. Mulai dari al-Qur’ân, hadits, fiqh, baru kemudian kondisi sosial politik di dunia Arab pada saat itu, dan pada saat ini, serta konteks politik di Indonesia sendiri dalam kaitannya dengan perkembangan wacana Islam dan gender.


Untuk tujuan tersebut, materi dalam modul ini disusun dalam tiga kerangka kurikulum. Pertama, yang terkait dengan prinsip dan sumber utama fiqh; yaitu mengenai konsep dasar Islam, penafsiran al-Qur’ân dan pemaknaan teks-teks hadits. Kedua, yang terkait dengan pemikiran-pemikiran fiqh awal; di dalamnya dijelaskan tentang relasi antara tradisi umat Islam awal dengan bangunan keislaman, fiqh sebagai disiplin keilmuan dan siklus kehidupan perempuan dalam ijtihâd ulama fiqh. Ketiga, materi yang terkait dengan pemikiran-pemikiran fiqh terapan di Indonesia. Di dalamnya dibahas mengenai sejarah kodifikasi hukum Islam di Indonesia, termasuk Hukum Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia.
Baca Terusannya »»  

MEKANISME PEMBIAYAAN MURABAHAH

PENDAHULUAN
Para pakar perbankan Islam pada awal terbentuknya perbankan Islam
di kancah perbankan global menyepakati bahwa perbankan Islam dalam
kegiatan operasional yang dijalankannya harus didasarkan pada sistem Profit
and Loss Sharing (PLS) dan bukan berdasarkan sistem bunga (interest rate).
Namun dalam prakteknya, sebagian besar bank-bank Islam mengalami
kesulitan untuk menerapkan sistem ini dalam produk-produk pembiayaan yang
ditawarkan yang menggunakan sistem PLS murni, dengan kendala yang
penuh resiko dan ketidak-pastian. Masalah-masalah praktis yang terkait
dengan pembiayaan ini di satu sisi mengakibatkan adanya penurunan dalam
penggunaannya di dunia perbankan Islam, dan pada akhirnya pada sisi lain
menyebabkan adanya peningkatan yang cukup drastis pada penggunaan
mekanisme pembiayaan yang secara tidak langsung mirip dengan pembiayaan
sistem bunga, yaitu mekanisme pembiayaan murabahah.
Dalam lembaga keuangan atau perbankan Islam produk pembiayaan
yang menggunakana mekanisme murabahah mendominasi sekitar 80 sampai
dengan 95 persen dari transaksi keuangan yang ada. Namun, kondisi ini tidak
terjadi di beberapa negara Islam seperti Sudan dan Iran, di mana mekanisme
pembiayaan bagi hasil-rugi tetap atau sebagian besar digunakan. Hal ini antara
lain dipengaruhi oleh adanya faktor-faktor yang mendukungnya, seperti
pemahaman masyarakat muslimnya yang tinggi akan pentingnya aplikasi
ajaran-ajaran agama dalam kehidupannya, termasuk dalam kegiatan
perekonomiannya seharai-hari, di samping adanya peran tokoh agama yang
sangat besar dalam kehidupan mereka.
Oleh karenanya, dalam makalah ini penulis akan mencoba mengkaji
mekanisme pembiayaan murabahah sebagai salah satu mekanisme
pembiayaan terpenting dan terpopuler pada perbankan Islam, dengan
1 Penulis adalah Staf Pengajar pada Fakultas Syariah IAIN Mataram.
memaparkan bagaimana konsep murabahah itu sendiri menurut kajian fiqih,
penerapannya dalam perbankan Islam, perbandingannya dengan mekanisme
pembiayaan yang berbasis bunga tetap pada perbankan konvensional dan
suatu analisa terhadap praktik murabahah jika dikaitkan dengan permasalahan
bunga dan riba.
Murabahah dalam Kajian Fiqih
Salah satu skim pembiayaan dalam konteks fiqih yang paling banyak
digunakan oleh perbankan Islam adalah skim pembiayaan jual-beli murabahah.
Transaksi murabahah ini dalam sejarah Islam lazim tejadi dan dilakukan pada
masa Rasulullah dan para sahabatnya. Sejak awal munculnya dalam kajian
fiqih, kontrak ini tampaknya telah digunakan murni untuk tujuan dagang.
Secara sederhana konsep murabahah adalah diartikan sebagai suatu
bentuk jual beli dengan adanya komisi atau suatu bentuk penjualan barang
dengan harga awal ditambah keuntungan yang disepakati. Transaksi ini
menurut Udovict biasanya dilakukan jika si pembeli tidak memperoleh barang
yang diinginkan kecuali melalui seorang perantara, atau ketika si pembeli ingin
mendapatkan barang tersebut secara praktis sehingga ia mencari jasa dari
seorang perantara.
Di dalam al-Qur’an, pembahasan secara langsung mengenai
murabahah tidaklah ada, walaupun terdapat beberapa ayat yang menunjukkan
kajian yang terkait dengannya seperti pembahasan mengenai jual-beli ataupun
permasalahan keuntungan dan kerugian dalam suatu perdagangan. Demikian
pula halnya dengan hadis-hadis Rasulullah Saw, tidak ada satupun hadist yang
membahas atau memiliki rujukan langsung mengenai permasalahan
murabahah ini.
Adapun yang menjadi landasan dari pembiayaan ini adalah al-Qur’an
ayat 29 dari surat an-Nisa yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta
sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku suka sama suka di antara kamu.”
Para ulama generasi awal seperti Imam Malik dan Syafi’i yang secara
khusus mengatakan bahwa jual beli murabahah adalah boleh hukumnya, tidak
dapat memperkuat pendapat mereka dengan satu hadis-pun. Imam Malik
misalnya, membenarkan keabsahan pendapatnya hanya dengan merujuk pada
adanya praktik penduduk mengenai transaksi ini :
“Terdapat kesepakatan dari ahli Madinah mengenai keabsahan
seseorang yang membelikan pakaian di kota, dan kemudian ia
membawanya ke kota lain untuk menjualnya lagi dengan suatu
keuntungan yang disepakati”
Sedangkan Imam Syafi’i dalam kitabnya al-‘Umm mengatakan bahwa :
“Jika seseorang menunjukkan suatu barang kepada seseorang dan
berkata belikanlah aku barang seperti ini dan aku akan
memberikanmu keuntungan sekian, lalu orang tersebut
membelikannya, maka jual beli ini adalah sah hukumnya.”
Dan seorang ulama pengikut mazhab Hanafi menganggap bahwa
murabahah ini adalah sah hukumnya dengan pertimbangan terpenuhinya
syarat-syarat yang mendukung adanya suatu akad jual beli dan juga karena
adanya beberapa pihak yang membutuhkan keberadaan transaksi ini. Begitu
juga dengan Imam Nawawi seorang ulama pengikut mazhab Syafi’i
menyatakan kebolehannya tanpa ada penolakan sedikitpun.
Lebih lanjut Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa di dalam transaksi
murabahah ini persyaratan yang harus dipenuhi antara lain adalah :
· Diketahuinya harga pokok
Dalam jual beli murabahah ini, penjual diharuskan untuk memberitahukan
secara jelas harga pokok atau harga awal dari suatu barang yang akan di
jual kepada pembeli untuk menghindari terjadi transaksi yang tidak jelas
(gharar) di antara kedua belah pihak.
· Diketahuinya keuntungan yang ditetapkan
Pihak penjual ketika melakukan transaksi dengan pembeli diwajibkan untuk
menjelaskan berapa dan bagaimana keuntungan (marjin keuntungan) yang
akan ditetapkan dari barang yang di jual, dan hal itu merupakan unsur
terpenting yang mendukung terjadinya transaksi yang saling rela (‘an
taradhin) di antara kedua belah pihak.
· Harga pokok merupakan sesuatu yang dapat diukur, dihitung dan
ditimbang dengan nilai, baik ketika terjadi transaksi jual beli yang pertama
ataupun sesudahnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan dalam
kajian fiqih Islam transaksi murabahah ini adalah sah dan boleh hukumnya,
dengan alasan adanya kebutuhan masyarakat akan jenis transaksi ini.
Pertimbangan lainnya adalah keberadaannya merupakan bentuk lain dari
transaksi jual-beli atau perdagangan sederhana yang ada dalam Islam
berdasarkan terpenuhinya persyaratan jual-beli yang ada di dalam transaksi
murabahah ini.
Sementara itu, secara umum para ulama berbeda pendapat tentang
biaya yang dapat dibebankan pada harga jual barang terkait dengan
pengertian keuntungan yang disepakati mark-up dalam transaksi murabahah.
1. Mazhab Maliki membolehkan adanya biaya-biaya yang langsung dan tidak
langsung yang terkait dengan transaksi jual beli dengan ketentuan dapat
memberikan nilai tambah pada barang tersebut.
2. Mazhab Syafi’i membolehkan untuk membebankan biaya-biaya yang secara
umum timbul dalam suatu transaksi jual-beli, kecuali biaya tenaga kerjanya
sendiri karena komponen ini sudah termasuk dalam keuntungannya. Begitu
pula dengan biaya-biaya yang tidak menambah nilai barang tidak boleh
dimasukkan sebagai komponen biaya.
3. Mazhab Hambali mengatakan bahwa semua biaya yang langsung maupun
tidak langsung dapat dibebankan pada harga jual selama biaya-biaya itu
harus dibayarkan kepada pihak ketiga dan dapat menambah nilai barang
yang dijual tersebut.
4. Mazhab Hanafi membolehkan untuk membebankan biaya-biaya yang secara
umum dapat timbul dalam suatu transaksi jual-beli, dan tidak boleh
mengambil keuntungan berdasarkan biaya-biaya yang semestinya
ditanggung oleh si penjual.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa keempat mazhab
membolehkan adanya pembebanan biaya langsung yang harus dibayarkan
kepada pihak ketiga. Keempat mazhab menyepakati untuk tidak membolehkan
pembebanan biaya langsung yang berkaitan dengan pekerjaan yang
semestinya dilakukan oleh penjual maupun biaya-biaya langsung yang
berkaitan dengan hal-hal yang berguna. Di samping itu mereka juga
membenarkan pembebanan biaya tidak langsung yang dibayarkan kepada
pihak ketiga dan pekerjaan itu memang harus dikerjakan oleh pihak ketiga
tersebut. Namun, jika pekerjaan itu harus dilakukan oleh penjual, mazhab
Maliki tidak membenarkan pembebanan biaya atasnya (adapun ketiga mazhab
lainya membolehkan). Dan keempat mazhab juga sepakat untuk tidak
membolehkan pembebanan biaya tidak langsung jika tidak menambah nilai
barang atau tidak berhubungan dengan hal-hal yang dapat berguna bagi nilai
barang tersebut.
Murabahah dalam Perbankan Syariah
Pada umumnya bank-bank Islam menawarkan produk murabahahnya
untuk memberikan pembiayaan jangka pendek kepada para nasabah guna
pembelian barang-barang konsumsi. Murabahah yang digunakan dalam
perbankan Islam pada prinsipnya didasarkan pada dua (2) komponen utama
yaitu harga beli dan biaya terkait atas barang serta kesepakatan atas labanya
(mark-up).
Dengan demikian, ciri-ciri mendasar yang dapat disimpulkan pada
kontrak murabahah (jual beli dengan pembayaran tunda) ini adalah sebagai
berikut :
1. Pihak pembeli harus memiliki pengetahuan tentang harga awal dari
barang yang dijual pihak bank, biaya-biaya terkait dengannya dan
batas laba (mark-up) yang ditetapkan dalam bentuk prosentase dari
total harga plus biaya-biayanya.
2. Obyek yang diperjual-belikan adalah berupa barang atau komoditas
dan harus dibayar dengan uang.
3. Obyek yang diperjual-belikan harus ada dan dimiliki oleh pihak penjual
atau wakilnya dan dapat diserahkan secara langsung.
4. Pembayaran yang dilakukan oleh pihak pembeli dapat ditangguhkan
(angsuran)
Dalam prakteknya di perbankan Islam, sebagian besar kontrak
murabahah yang dilakukan adalah dengan menggunakan sistem murabahah
kepada pemesan pembelian (KPP). Kondisi ini dapat dimaklumi mengingat
lembaga perbankan bukanlah sebagai tempat yang menghasilkan suatu barang
atau komoditas tertentu yang dibutuhkan oleh seorang nasabah. Singkatnya
untuk mengadakan barang atau komoditas yang dibutuhkan nasabah, pihak
bank terlebih dahulu melakukan pemesanan kepada produsen terkait (pihak
ketiga) yang kemudian disalurkan kepada nasabah yang memesannya. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada skema pembiayaan murabahah berikut ini :
Perbandingan Antara Pembiayaan Murabahah (mark-up) dan
Berbasis Bunga Tetap (Fixed Interest Based)
Mekanisme pembiayaan yang menggunakan skim murabahah pada
perbankan Islam jika ditilik sekilas memang terlihat mirip dengan pembiayaan
yang menggunakan sistem bunga tetap yang ditawarkan perbankan
konvensional. Dalam makalah ini, penulis akan mencoba melakukan
perbandingan untuk menemukan apakah terdapat perbedaan yang signifikan di
antara keduanya untuk tujuan-tujuan yang sama dengan menfokuskan
perbandingan pada aspek-aspek sebagai berikut :
1. Biaya (Harga) Untuk Pembiayaan
Sebagaiman diketahui bahwa ketika sebuah bank konvensional
memberikan pinjaman kepada seorang debitur, misalnya untuk pembelian
barang-barang tertentu, maka bunga yang dikenakan pada pinjaman
dikaitkan dengan pokok pinjaman dan waktu jatuh tempo pinjaman.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bukanlah menjadi urusan bagi
bank konvensional terkait mengenai berapa harga barang yang akan dibeli
oleh seorang nasabah. Yang terpenting adalah bagaimana memperoleh
suku bunga terkait yang sedang berlaku (baik itu suku bunga tetap ataupun
tidak tetap). Dan menjadi tanggung jawab nasabah sendiri setelah
memperoleh pinjaman dengan suku bunga tertentu untuk membeli barangbarang
yang diperlukan berapapun harganya.
Akan tetapi tidak demikian halnya yang terjadi di perbankan
syariah melalui pembiayaan murabahah, di mana bank Islam terlebih
dahulu memastikan bahwa nasabah mengetahui total harga barang yang
dibutuhkan sebelumnya. Artinya, pinjaman yang diberikan atau disalurkan
kepada nasabah tetap memperhatikan apakah jumlah pinjaman tersebut
mencukupi untuk membayar apa yang akan dibeli atau tidak.
Dari kedua paparan tersebut, memang secara sekilas dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara keduanya. Akan tetapi, jika
ditinjau dan dianalisa lebih jauh di mana dalam penetapan bunga yang
berlaku di perbankan konvensional, suku bunga yang diberlakukan adalah
tergantung pada kebutuhan bank untuk mendapatkan keuntungan riil, yang
juga sangat tergantung pada kemungkinan terjadinya inflasi di masa
mendatan, preferensi likuiditas, jumlah permintaan pinjaman, kebijakan
moneter ataupun perkembangan suku bunga luar negeri. Dan hal itu
sebenarnya juga terjadi pada pemberlakuan mark-up pada pembiayaan
murabahah, di mana penetapannya juga didasarkan pada adanya faktorfaktor
yang melatar-belakanginya seperti adanya kebutuhan bank Islam
untuk memperoleh keuntungan riil dari pinjaman tersebut, termasuk
kemungkinan inflasi yang akan terjadi, perkembangan moneter,
marketabilitas barang-barang yang dijual melalui pembiayaan ini serta
tingkat laba yang diharapkan dari barang-barang tersebut.
Karenanya dapat disimpulkan dari perbandingan yang perta bahwa
faktor-faktor yang melatarbelakangi penetapan suku bunga pada
perbankan konvensional juga merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi
pemberlakuan mark-up dalam pembiayan murabahah. Oleh karenanya
konsekuensi dari kesamaan faktor ini adalah bahwa suku bunga dan markup
dalam murabahah untuk penyaluran dana-dana yang sebanding akan
sama.
Untuk perbandingan yang kedua dalam biaya dalam proses
pembiayaan, memang terkadang dapat terjadi jumlah mark-up sekilas lebih
tinggi atau lebih rendah dari suku bunga dominan, namun perbedaan
antara keduanya untuk pinjaman-pinjaman sejenis umumnya tidak terlalu
jauh. Kondisi mark-up yang lebih rendah umunya dapat terjadi jika dalam
pembelian barang-barang yang dibutuhkan nasabah dilakukan secara
borongan sehingga pihak bank dapat memperoleh diskon-diskon dari
penyalur untuk barang yang sama. Diskon-diskon inilah yang kemudian
ditransfer kepada para nasabah murabahah dalam bentuk mark-up yang
lebih rendah yang akan menurunkan biaya pembiayaan nasabah. Namun,
kondisi ini tidak akan terjadi ketika permintaan pembelian barang dilakukan
secara terpisah, dalam artian pembelian barang dilakukan ketika masingmasing
nasabah mengajukan permintaan pembelian yang berbeda. dan
kondisi inilah yang paling sering dan mungkin terjadi.
Dengan demkian dapat dikatakan bahwa pembiayaan murabahah
dengan sistem mark-upnya adalah sama dengan pinjaman yang
berdasarkan bunga atau bahkan dapat terjadi lebih besar (mahal). Di mana
dalam pembiayaan berdasarkan penetapan suku bunga tertentu dalam
pinjaman bank konvensional, pihak bankir ketika akan memberikan
pinjaman hanya cukup diberikan data-data finansial yang relevan untuk
menilai posisi keuangan nasabah dan menilai proyek yang dimohonkan
untuk dibiayai. Sementara itu dalam pembiayaan murabahah, pihak bankir
atau personil bank perlu untuk terlibat lebih jauh memberikan pembiayaan
ini, di mana dibutuhkan adanya penelitian pasar yang memakan biaya,
kertas kerja yang dihasilkan dari proses permintaan pembiayaan,
melakukan kontak dengan penyalur, penanganan dokumen ataupun
melakukan pemantauan yang terus menerus terhadap perkembangan
penjualan barang-barang murabahah setelah diberikan kepada para
nasabahnya.
2. Resiko Dalam Pembiayaan
Tentunya dalam setiap pembiayaan yang diberikan sebuah
lembaga keuangan seperti bank atau yang lainnya tidaklah terlepas dari
berbagai resiko yang akan menyertainya. Demikian jua halnya dengan
pembiayaan yang dilakukan menggunakan skim murabahah, di mana faktor
pembagian resiko (loss sharing) tetap ada dan menjadi alasan untuk
mengambil keuntungan. Dalam perbandingan yang kedua ini, pembahasan
mengenai resiko-resiko yang ada dalam pembiayaan akan difokuskan pada
resiko-resiko yang terkait dengannya, seperti :
a. Resiko yang tekait dengan barang
Salah satu resiko yang akan ditanggung oleh sebuah bank
Islam terkait dengan pembiayaan murabahah adalah resiko yang timbul
dari barang yang dijual kepada nasabah. Bank Islam ketika membeli
barang yang diminta oleh nasabah murabahahnya, maka secara teoritis
menanggung resiko kehilangan atau kerusakan pada barang-barang
tersebut dari saat pembelian sampai diserahkan kepada nasabah.
Artinya kondisi barang ketika diserahkan harus dalam keadaan baik
sesuai dengan pesanan atau permintaan. Hal ini memang sudah
menjadi ketentuan yang berlaku dalam hukum muamalah Islam.
Seorang nasabah menurut kajian fiqih Islam berhak menolak barangbarang
yang rusak atau kurang jumlahnya atau tidak sesuai dengan
spesifikasi yang diberikan.
Resiko-resiko tersebut mungkin kurang signifikan jika dikaitkan
dengan kontrak murabahah dalam konteks perdagangan domestik
(lokal). Akan tetapi dalam level perdagangan yang lebih luas
(internasional), resiko-resiko semacam itu tidak dapat diabaikan begitu
saja. Bagaimanapun juga dalam prakteknya untuk menghindari
timbulnya hal-hal semacam itu, bank Islam mengantisipasinya dengan
menetapkan biaya-biaya asuransi dalam klausul-klausul kontrak yang
dibuat dengan nasabah murabahah. Karenanya, dalam setiap kontrak
transaksi murabahah, biaya asuransi merupakan salah satu biaya yang
harus ditanggung oleh nasabah sebagai biaya yang ditambahkan pada
pengeluaran-pengeluaran murabahah untuk mencapai total harga
barang dan sebagai dasar bagai penentapan jumlah mark-upnya.
Kondisi ini memang berbeda dengan apa yang menjadi dasar
dari penetapan suku bunga dalam suatu pinjaman yang diberikan oleh
bank konvensional kepada debiturnya yang memang bersifat pinjaman
murni semata. Oleh karenanya, tidak dapat dipungkiri jika di dalam
pembiayaan murabahah ini markr-up yang ada ataupun total
pengembalian yang harus dikeluarkan oleh nasabah murabahah bisa
lebih besar dari suku bungan pinjaman bank konvensional.
b. Resiko yang tekait dengan pembayaran
Resiko lain yang mungkin terjadi dalam kontrak murabahah
adalah resiko yang terkait dengan pembayaran angsuran dari
nasabahnya. Karenanya untuk menghindari resiko ini, dalam klausul
kotrak tertulis yang dibuat sebagian besar bank Islam mengharuskan
adanya jaminan.
Kaitannya dengan resiko yang terkait dengan pembayaran ini
atau kemungkinan penunggakan nasabah untuk membayar
kewajibannya, bank Islam membedakannya sebagai berikut :
· Jika tidak adanya pembayaran atau ketidak mampuan seorang
nasabah dalam membayar diakibatkan oleh adanya faktor-faktor
di luar kemampuan nasabah untuk mengontrolnya, maka bank
Islam secara moral berkewajiban menjadwal ulang pembayaran
hutang tersebut.
· Jika nasabah memiliki kemampuan untuk membayar tepat waktu
dan tidak melakukannya, maka bank Islam dalam kondisi ini
menggunakan sistem denda kepada nasabahnya, yang
jumlahnya disesuaikan dengan “tingkat laba yang wajar” pada
dana bank yang diinvestasikan sebagai opportunitycost (biaya
untuk menutupi peluang yang hilang) dari modal tersebut.
· Jika pelunasan pinjaman tidak mungkin dilakukan, maka bank
Islam dalam sebagian besar prakteknya akan menyita jaminan
yang diberikan beserta barang-barang yang diserahkan kepada
nasabah.
Melihat beberapa kebijakan yang dilakukan oleh bank Islam
dalam menyikapi resiko pembayaran yang timbul dari pinjaman
murabahah yang diberikan, pada dasarnya memiliki kesamaan dengan
apa yang dilakukan oleh bank konvensional ketika debiturnya tidak
mampu mengembalikan atau melunasi pinjamannya sesuai kontrak
yang dibuat, seperti adanya penjadwalan hutang ataupun semacam
denda yang diberikan. Termasuk adanya keharusan untuk mengajukan
jaminan dari pinjaman yang diajukan, untuk memastikan pengembalian
pinjaman ketika jatuh tempo.
3. Hubungan Antara Bank Dan Pembeli
Untuk perbandingan yang ketiga, perbandingan antara sistem
bunga dan mark-up dapat dilihat dari adanya hubungan yang terjadi pada
kedua kontrak yang terjadi.
Pada awalnya, teori perbankan Islam mengatakan bahwa ciri
utama dalam hubungan antara pihak bank dan nasabah adalah “hubungan
kemitraan” yang berdasarkan prinsip profit and loss sharing (PLS), yang
dapat menghapus sifat hubungan yang biasa terjadi pada bank-bank
konvensional, yaitu hubungan antara kreditur dan debitur. Bagaimanapun
juga kondisi yang terjadi sulit untuk membenarkan teori tersebut,
mengingat begitu pentingnya peranan transaksi murabahah dalam
perbankan Islam yang secara keseluruhan dapat diperkirakan melebihi 75
persen dari kegiatan investasi yang ditawarkan.
Dalam murabahah, secara tidak langsung kontrak jual beli yang
terjadi membawa suatu hubungan kreditur-debitur antara pihak bank
dengan nasabah. Di mana si pembeli (nasabah) menyetujui untuk
membayar harga barang ditambah jumlah mark-up secara angsuran,
termasuk tanggal jatuh tempo angsuran yang ditentukan dalam kontrak.
Dengan demikian, ketika pihak bank dan nasabah menyepakati kontark jual
beli ini, harga jual yang diberikan menjadi tanggungan hutang nasabah
kepada bank bersangkutan, maka hubungan yang terjadi adalah hubungan
antara seorang kreditur dan debitur yang tidak ada bedanya dengan
hubungan yang terjadi pada kontrak pinjaman di bank konvensional.
4. Penyelesaian Hutang
Pada dasarnya pembiayaan yang dilakukan dalam suatu kontrak
murabahah yang harus dilunasi pada jangka waktu tertentu (angsuran)
tidak jauh berbeda dengan suatu pembiayaan yang didasarkan pada suku
bunga tetap pada perbankan konvensional.
Dalam kedua kontrak tersebut, pembiayaan adalah tetap dianggap
sebagai hutang, baik biaya pembiayaan yang ada dianggap atau disebut
sebagai bunga atau laba serta jangka waktu pembayarannya pun
ditetapkan. Perbedaan yang paling jelas adalah hanya terletak pada kondisi
ketika seorang debitu gagal melunasi hutangnya sesuai dengan jangka
waktu yang telah ditetapkan.
Di perbankan konvensional, pinjaman yang diberikan melalui
sistem bunga pada umumnya akan menimbulkan sanksi bunga tambahan
jika pinjaman tidak dilunasi pada saat jatuh tempo, baik si debitur mampu
membayar atau tidak. Sementara itu di perbankan Islam tidak demikian
adanya, tergantung pada kondisi ketidak-mampuan debitur dalam
membayar pinjamannya tersebut. Jika seorang debitur tidak mampu
melunasi hutangnya, maka pihak perbankan harus memberi kelonggaran
(toleransi) untuk melunasinya sesuai dengan perintah al-Qur’an dalam surat
al-Baqarah ayat 280. Penundaan semacam dalam inti konsepnya harus
diberikan tanpa melalui penambahan beban atau semacamnya seperti
adanya denda dan sebagainya atas waktu yang diberikan untuk
pembayaran tersebut. Hanya saja dalam praktek yang terjadi, sebagian
besar bank-bank Islam dengan dukungan dewan syariah mereka telah
mempersempit penafsiran perintah kandungan ayat tersebut. Menurut
mereka, penerapan perintah tersebut secara umum dapat memberikan
celah kepada para debitur untuk sengaja lalai untuk melunasi hutangnya,
padahal mereka mampu untuk melunasinya. Untuk itu, dalam rangka
mengantisipasinya mereka kemudian mengadopsi konsep denda bagi
debitur yang tidak dapat melunasi hutangnya tepat waktu, khususnya
untuk mereka yang mampu melunasinya. Alasan mereka adalah untuk
mengganti kerugian yang diderita bank akibat tidak terbayarnya hutang
tepat pada waktunya.
Namun, jika dilihat dari kegunaan yang ada dari konsep denda
yang diberlakukan ini, pada dasarnya adalah sama dengan tujuan-tujuan
praktis dari penerapan sistem bunga di bank-bank konvensional, ketika
hutang tidak dilunasi tepat waktu (sebagai kompensasi atas hilangnya
tingkat laba normal atau opportunity cost dari modal yang diinvestasikan).
Itu semua adalah tidak lain untuk menjamin dana-dana yang diberikan
kepada para nasabahnya.
Analisis Keuntungan Murabahah, Bunga Bank dan Riba
Kegiatan investasi yang dilakukan oleh sebagian besar dari bank
Islam tampaknya hanya memperhatikan kesesuaian kegiatannya dengan
ajaran hukum Islam secara parsial (tidak utuh) sebagaimana yang diterapkan
dalam praktik pembiayaan murabahah. Bank-Bank Islam menyatakan bahwa di
dalam al-Quran perdagangan untuk mendapatkan laba diperbolehkan,
kemudian juga dengan bentuk murabahah sebagai jual beli dengan
keuntungan atau laba yang ditetapkan. Dengan tidak adanya pembatasan
yang jelas atas jumlah laba yang boleh diambil oleh seseorang dalam suatu
kegiatan penjualan maka bank-bank Islam secara teoritis bebas menentukan
besar mark-up untuk suatu kontrak murabahah.
Kaitannya dengan hal tersebut ada kecenderungan bank Islam untuk
menafsirkan konsep riba sebagai sesuatu yang umumnya terjadi dalam
konteks transaksi finansial saja, yaitu kewajiban-kewajiban kontraktual untuk
membayar tambahan tertentu dalam utang piutang. Bank Islam tampaknya
juga berargumen bahwa al-Quran ataupun Sunnah tidak ada yang secara
khusus menegaskan bahwa setiap tambahan karena adanya tenggang waktu
yang diberikan dalam membayar hutang seperti yang terjadi dalam kasus
murabahah adalah riba.
Seorang pengamat perbankan Islam memberikan cacatan bahwa
bank-bank Islam termasuk mereka yang menjadi dewan pengawasnya
mengatakan bahwa pengharaman riba pada prinsipnya bukan masalah
ekonomi, tetapi pengharamannya adalah yang utama berdasarkan ketentuan
hukum yang ada. Yang diharamkan adalah semua keuntungan positif yang
ditetapkan di awal kontrak bagi pemilik modal dalam suatu transaksi finansial
murni, sedangkan murabahah yang menggunakan mark-up untuk menentukan
keuntungannya bukan merupakan transaksi finansial murni.
Sering dikatakan bahwa teknik mark-up atau batas laba dalam suatu
transaksi perdagangan adalah bunga dengan nama yang berbeda dan memang
asumsi ini jika dilihat dari sudut pandang ekonomi tidak memiliki perbedaan
yang mendasar antara keduanya. Perbedaannya adalah hanya terletak pada
permasalahan hukum dimana bunga adalah terkait dengan kontrak utang
piutang, sementara mark-up adalah identik dengan kontrak jual beli atau
penyewaan. Namun perbedaan hukum ini tampaknya tidak membuat batasan
laba dalam murabahah dengan bunga dalam utang piutang memiliki
perbedaan yang signifikan. Di sisi lain dari sudut pandang ekonomi
pembiayaan yang berdasarkan mark-up dalam murabahah tidak memiliki
manfaat ekonomis yang lebih baik jika dibandingkan dengan sistem pinjaman
yang berbasis bunga kecuali jika dalam pembiayaan murabahah harga yang
disepakati akan tetap sama sekalipun pembayaran tidak bisa dilakukan pada
waktu yang ditentukan (tepat waktu)
Penutup
Murabahah adalah suatu jenis pembiayaan yang termasuk dalam
kategori penjualan dengan pembayaran tunda. Meskipun tidak didasarkan
pada teks al-Quran dan Sunnah, namun dalam kajian fiqh Islam jenis transaksi
ini dapat dibenarkan. Bank-bank Islam telah menggunakan kontrak murabahah
dalam kativitas pembiayaan mereka dimana barang-barang dilibatkan dan
bank telah memperluas cakupan dan tingkat penggunaannya. Pembiayaan
semacam ini sekarang telah mencapai lebih dari tujuh puluh lima persen
pembiyaan bank Islam berkat kemampuannya untuk memberikan keuntungan
yang ditetapkan di muka dari investasi bank, sangat mirip dengan keuntungan
yang ditetapkan di muka pada bank-bank berbasis bunga.
Pembiayaan murabahah dan harga kreditnya yang lebih tinggi jelas
menunjukkan bahwa ada nilai waktu dalam pembiayaan berbasis murabahah
yang mendorong, meski secara tidak langsung, kepada pengakuan nilai waktu
pada uang. Gambpang sekali dilupakan bahwa mengakui nilai waktu pada
uang secara logika menggiring kepada pengakuan terhadap bunga. Dengan
mengakui nilai waktu dalam transaksi-transaksi murabahah dan kemudian
penolakan hal yang sama dalam transaksi-transaksi finansial, tampak sebagai
sikap yang tidak konsisten dan tidak logis.
Baca Terusannya »»